Rabu, 16 November 2011

Sedetik Kemudian ( Cerpen Alvia )


SEDETIK KEMUDIAN

Alvin P.O.V

                Seperti biasa, sampai di sekolah aku selalu bermain basket bersama teman-temanku. Dan seperti biasa pula, aku selalu menunggu kedatangannya. Dia memang selalu datang agak siang, bahkan tidak jarang dia dijemur karena terlambat.

                Mungkin sebentar lagi bel akan berbunyi tapi dia belum kelihatan juga. Disini bukan dia ataupun sahabatnya yang cemas, tapi aku. Selalu aku tidak tega melihatnya dijemur dibawah sinar matahari pagi yang cukup menyengat.

“ Dia belum datang yaa..” gumamku lirih.

“ Paling dia telat kayak biasanya. Lo gak usah terlalu cemasin dia deh. Dia aja yang terus-terusan telat sama dijemur  gak pernah kapok.” tutur Cakka, sahabat dekatku, Cakka memang benar-benar tau bagaimana perasaanku.

“ Tapi gue selalu gak tega ngeliat dia panas-panasan dibawah sinar matahari. Kan kasihan Cakka !”

                Tak berapa lama bel pun berbunyi, dengan berat aku mengikuti langkah Cakka menuju ke kelas. Tapi tidak lama kami berada di kelas, kami kembali lagi ke lapangan. Yaa, jadwal kami pagi ini adalah olahraga.

“ Miss telat udah datang tuh..” cibir seorang gadis dari kelasku.

                Segera aku menoleh ke arah gerbang. Yaa, Julukan untuknya adalah miss telat. Siapa sih siswa sekolah ini yang gak tau dia. Dia itu ratunya telat. Tapi entah kenapa aku merasakan ujung bibirku tertarik, mungkin aku sedang tersenyum saat ini.

                Aku kini memandangnya tanpa beralih, tidak mempedulikan sedikitpun penjelasan dari guru olahragaku. Dia terlihat begitu lucu, apalagi mimik wajahnya saat merayu sang satpam. Dan tidak cukup lama dia berhasil masuk, aku tersenyum. Aku terus mengikuti arah langkahnya sampai dia masuk ke dalam kelas dan aku tidak bisa lagi melihat bayangnya.

“ Udah tenang kan ?? Tuh telat lagi !” cibir Cakka, aku sendiri hanya nyengir kuda.

“ Bisa aja lo..”

“ Udah perhatiin tuh guru aja. Daripada kena omel.” Cakka pun kembali memperhatikan penjelasan sang guru.

                Belum sampai lima menit aku mengalihakan pandangannya dari lapangan tengah. Aku melihat gadis itu tengah menggerutu sambil berjalan menuju tiang bendera. Pasti dijemur lagi ! Mimik wajahnya yang lucu karena menggerutu membuat aku menahan tawa. Tanpa aku sadari, semua temanku kini memandangku, bahkan guruku sedang menatapku garang.

“ Kamu kenapa Alvin ?” tanya Pak Budi, guru olahragaku.

“ Gak papa kok pak.” Sahutku pelan. Pak Budi hanya menggelengkan kepalanya, sementara teman-temanku hanya menahan tawa.

                Saat sedang asyik-asyiknya bermain bola Voli, aku melihatnya. Tubuh gadis itu mulai limbung ke kanan dan ke kiri. Aku masih terus menatapnya tanpa mampu bergerak dari tempatku. Dan saat tubuhnya sudah jatuh ke tanah, spontan aku berteriak kencang memanggil namanya.

                Teman-temanku memandangku bingung. Aku tak peduli. Aku segera berlari menghampirinya. Aku khawatir bahkan sangat khawatir. Saat ku lihat wajah pucatnya aku benar-benar tidak tega. Apalagi melihat darah yang mengalir keluar dari hidungnya. Tanpa menunggu aba-aba aku mengangkat tubuhnya, dan segera membawa tubuhnya menuju ke UKS.

***

Sivia P.O.V

                Aku benar-benar terlambat bangun. Sial !! Ini efek semalam. Buru-buru aku menyambar handukku dan bergerak menuju kamar mandi. Sekitar 10 menit aku mandi. Tidak mau repot, aku segera mengikat kuda rambutku. Ku sambar tasku, dan segera berlari ke bawah.

“ Pa, Ma, Via berangkat dulu yaa..” pamitku sambil mencium tangan kedua orang tuaku.

“ Via, kamu gak usah masuk sekolah dulu. Wajahmu masih sangat pucat.” tutur mamaku halus. Perlahan kurasakan usapan tangan mamaku pada kedua pipiku.  Aku hanya menggeleng keras.

“ Aku sudah tidak apa-apa mama sayang.” Aku tersenyum sambil melangkah keluar rumah.

“ Pasti telat nih..” gerutuku. Aku memandangi jam tanganku. Sudah pukul 06.55 sedang jam masukku jam 7. Aku buru-buru berlari, memang jarak rumah dan sekolahku tidak begitu jauh. Maka dari itu banyak orang yang heran melihat aku terlambat. Mereka hanya tidak tau saja, ada alasan dibalik keterlambatanku tiap harinya.

“ Pak Andi bukain pintunya dong.” Rayuku pada Pak Andi, satpam sekolahku.

“ Aduh neng Via, masa Pak Andi harus bukain pintu buat neng Sivia terus sih. Pak Andi kan jadi sering kena marah sama Pak Duta.” tutur sang satpam dengan muka melas, tapi sayang mukaku jauh lebih memelas daripada dirinya.

“ Iya, Pak Andi bukain.” kata Pak Andi setelah melihatku, aku hanya bisa tertawa dalam hati. Memang harus diakui wajahku bisa membuat orang merasa kasihan bahkan mungkin suka padaku, tapi itu menjadi pengecualian jika aku bertemu Pak Duta, guru matematika.

“ Makasih Pak Andi..” Aku hanya tersenyum, lalu kembali berlari menuju kelas. Sedangkan Pak Andi hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kasihan sekali beliau !

“ Alamat kena marah lagi deh..” gerutu Pak Andi. Aku yang masih bisa mendengarnya hanya tertawa tanpa rasa bersalah.

“ TOKK.. TOKK..”

“ Masuk..” balas suara berat dari dalam ruangan.

“ Maaf pak saya terlambat.” Aku hanya cengengesan, murid lain sudah menepuk jidat mereka melihat sikap enteng yang ditunjukkan olehku. Sedang Pak Duta sudah menatapku tajam.

“ Kamu selalu saja terlambat. Cepat berdiri di depan tiang bendera sampai pelajaran saya selesai !” Perintah Pak Duta tegas. Beliau sampai tidak sadar telah menimbulkan hujan lokal di wajahku.

“ Hujan lokal pak !” kataku santai, aku memandang teman-temanku, mereka semua menahan tawa tapi tidak ada yang berani tertawa. Aku pun mengalihkan pandanganku, ke arah sang guru galak.

“ Siviaaaa !!” teriak Pak Duta keras.

“ Peace pak…” aku tetap diam sambil mengacungkan dua jariku yang aku buat huruf V.

“ Cepat lakukan !” bentak Pak Duta lagi.

“ Iya deh pak.” aku pun mengalah dan segera berjalan menuju lapangan.

                Disepanjang jalan, mataku tidak pernah berhenti menatap laki-laki itu. Laki-laki yang sejak masuk SMA telah menjadi bagian penting dari hatiku. Dia sedang mendengarkan penjelasan dari sang guru. Aku tersenyum, entah kenapa hatiku selalu bergetar tiap melihat wajah tampannya. Tapi sayang kami berbeda !

                Mungkin sudah setengah jam aku berdiri disini. Tiba-tiba aku merasakan pusing yang luar biasa pada kepalaku. Lagi-lagi seperti ini. Tanganku bergerak pelan ke arah kepalaku. Sedikit aku menjambak rambutku dan memukul kepalaku pelan, berharap ini akan mengurangi rasa sakit yang begitu luar biasa ini.

                Pandanganku mulai mengabur. Aku merasa ada aliran kecil dari hidungku. Saat akan aku lihat, tubuhku limbung dan semakin lama semakin tak seimbang. Aku mencoba mengerjapkan mataku, tapi semakin lama semua terasa semakin gelap. Dan kali ini benar-benar gelap.

***
Author P.O.V

“ BRUUKKKK…”

“ Siviaaa….” Teriak dari mulut Alviin itu menggema ke seluruh lapangan.

                Buru-buru Alvin mendekati Sivia. Tak lama ia pun mengangkat tubuh Sivia, membawanya ke UKS. Alvin itu terus mengelap darah dari hidung Sivia yang belum juga sadar dari pingsannya. Tidak lama, mata yang terpejam itu terbuka perlahan. Mengerjap satu kali, dua kali, tiga kali, dan berkali-kali sampai pandangannya tidak kabur lagi.

“ Lo udah sadar ?” kalimat tanya retoris keluar dari mulut Alvin.

“ Emmm, gue dimana ?” tanya Sivia, sebelah tangannya memegangi kepalanya yang masih berdenyut kencang.

“ Di UKS, lo tadi pingsan saat dijemur. Lagi gak sehat yaa ?” tanya Alvin dengan perhatian, Alvin bahkan tidak pernah menyangka dirinya bisa bicara dengan Sivia, gadis yang sudah lama mengisi hatinya. Sivia hanya tersenyum dan sedikit mengangguk, sama halnya dengan Alvin, semua ini rasanya seperti mimpi. Bicara dengan objek cinta diam-diam mereka.

“ Iya, makasih udah nolongin gue.” tutur Sivia lembut.

“ Nama lo siapa ?” tanya Sivia, sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu dilontarkan toh mereka sama-sama sudah saling mengetahui bahkan sangat mengetahui masing-masing.

“ Gue Alvin dan lo ?” tanya Alvin balik.

“ Sivia..”

><><><><><><><><><>< 

                Sudah beberapa hari berlalu sejak saat itu. Alvin dan Sivia pun semakin dekat. Alvin sebenarnya pun ingin mengungkapkan perasaannya tapi di antara mereka benar-benar terlihat perbedaan yang nyata. Agama ! Alvin takut jika Sivia mempermasalahkan hal itu.

                Dan itu sebabnya Alvin tidak juga mengungkapkan isi hatinya pada Sivia. Sampai suatu hari ia mendapatkan sebuah semangat dan berencana akan mengungkapkan isi hatinya.

                Siang ini Alvin mengajak Sivia ke danau favorit mereka. Mereka kini tengah berbincang berdua sambil menatapi indahnya danau. Sampai Alvin beranjak dari sana. Meninggalkan Sivia sendirian.

                Lama Sivia menunggu, tapi Alvin tidak kelihatan juga. Sivia mulai cemas. Perlahan ia berdiri dan terus memanggil nama Alvin. Sampai suara petikan gitar terdengar indah. Sivia segera melihat ke sumber suara, disana ia menemukan Alvin yang sedang menatapnya lembut sembari memainkan gitarnya.

                Sivia terdiam tidak menyangka. Ia benar-benar terharu. Alvin mulai menyanyikan deretan syair indah dari lagu tercipta untukku. Sivia hanya terdiam sambil mendengarkannya. Alvin mulai berjalan ke arah Sivia. Sampai ia kini berada tepat di depan Sivia.

                Perlahan Alvin meletakkan gitarnya dan mengakhiri lagunya. Tangan Alvin mulai bergerak, mengenggam jemari Sivia.

“ Sivia, aku cinta padamu.” kata Alvin lembut, matanya menatap tajam mata Sivia. Sivia hanya menggeleng lemah, air mata mulai turun. Dan tanpa aba-aba Sivia berlari meninggalkan Alvin sendirian disana.

***

                Sejak saat itu Alvin tidak lagi bicara pada Sivia. Bukan karena ia benci pada Sivia tapi karena Sivia selalu menjauhinya bahkan sudah 4 hari ini Sivia tidak masuk ke sekolah.

                Dan Alvin benar-benar dikejutkan dengan kabar meninggalnya Sivia. Tanya banyak bertanya, Alvin segera memacu motornya ke rumah Sivia. Benar saja, disana Alvin melihat banyak sekali orang-orang yang berpakaian serba hitam.

                Dengan langkah berat Alvin masuk ke dalam rumah Sivia. Entah kenapa, suasana sedih langsung menyelimuti dirinya. Apalagi saat ia melihat seseorang yang terbungkus kain kafan disana. Alvin berjalan ke arah jenazah itu. Langkahnya begitu berat, dan tanpa ia sadari air mata sudah membanjiri pipinya.

                Tubuh Alvin terduduk lemas di samping jenazah itu.

“ Sivia…” lirihnya dengan suara serak.

“ Kenapa lo pergi secepat ini sih..”

“ Lo belum balas perasaan gue Vi..” Alvin terus menangis sambil memandang wajah pucat Sivia yang kini sudah terbujur kaku.

“ Gue bener-bener cinta sama lo Vi.” Alvin mengelus perlahan pipi Sivia yang kini sudah sangat dingin. Semua yang ada disana hanya dapat memandang Alvin dengan tatapan sedih dan kasihan.

***

                Alvin sedang berdiri di balkon kamarnya. Ia baru saja pulang dari pemakaman Sivia. Alvin terus menatap bintang yang bertaburan indah di langit malam. Perlahan tangannya bergerak membuka kertas yang terlipat rapi.

Dear Alvin,

Maaf Vin,
Maaf banget..

Gue gak pernah jawab perasaan lo ke gue. Itu bukan karena gue gak sayang sama lo Vin, dan asal lo tau, gue sayang banget sama lo Vin. Sejak gue pertama liat lo di acara MOS. Tapi maaf, gue bukan cewek yang baik buat lo.
Selain kita beda agama, gue juga ngidap kanker otak stadium akhir. Itu sebabnya lo sering liat gue telat dan mimisan. Gue kasih tau satu rahasia gue, gue itu selalu telat karena tiap malam gue gak bisa tidur gara-gara penyakit jahanam ini, dan kalaupun gue pingin tidur, gue harus minum obat yang ngasih efek tidur terlalu kuat.
Tapi lo juga harus tau, semenjak gue lebih kenal sama lo. Gue punya harapan hidup lagi Vin ! Gue punya Vin ! Dan itu karena lo ! Tapi gue harus disadarkan kalau waktu gue gak lama Vin.Penyakit jahanam ini sudah menyebar terlalu luas.  Dan gue tau semua ciptaanNya bakal kembali kepadaNya.
Maaf lagi, gue gak bisa lama-lama nemenin lo di dunia ini. Dan maaf kalau tulisan gue jelek banget. Maklum aja, gara-gara penyakit jahanam ini gue udah gak punya tenaga lagi buat nulis. Dan mungkin ini adalah tulisan terakhir dari gue.

Gue juga cinta sama lo !
Selamat tinggal Alvin,
Dan jangan nangis, gue selalu perhatiin lo dari sini..
Karena gue udah jadi bintang yang paling terang di langit.

LOVE,

Sivia.

                Alvin tersenyum perih setelah membaca surat itu.

“ Maaf, gue belum bisa buat gak nangis sekarang. Gue janji ! Besok gue bakal tersenyum buat lo di surga.” Alvin memandang bintang paling terang, terlihat sekali pantulan sinar pada air mata Alvin. Sendiri Alvin menggerakkan jemarinya, mengusap pelan air matanya yang tak kunjung reda.

****END****

***tinggalkan jejak bagi yang udah baca***
***makasih udah mau baca***


Minggu, 06 November 2011

Destiny, You and Me Part 2 ( Kembalinya Sivia )


Destiny, You and Me Part 2
~ Kembalinya Sivia ~

                Dengan cepat Chris berjalan menuju kantor TU. Ia ingin segera menemui guru yang tadi ia tabrak dan menanyakan kebenaran dari apa yang tertera di selembar kertas yang ia bawa. Cakka dan Kanya pun hanya mengikutinya dari belakang. Dan tidak perlu waktu lama untuk sampai di kantor TU.

                Dengan cepat Chris mengetuk pintu dihadapannya. Setelah ia mendapat sahutan dari dalam dengan segera ia masuk ke ruangan TU. Sementara Cakka dan Kanya masih setia mengikuti dibelakangnya. Chris pun segera menghampiri guru TU yang tadi ia tabrak.

“ Ibu Icha, ini ada kertas yang tertinggal.” Dengan cepat Bu Icha mengambil kertas yang diberikan Chris, pelan ia tersenyum ke arah Chris, tanda terima kasih.

“ Boleh saya bertanya bu ?” Ibu Icha hanya mengangguk sebagai jawaban.

“ Disana tertera nama Sivia Azizah, apakah Sivia yang dimaksud adalah Sivia yang penyanyi itu ? Dia dulu juga termasuk anggota BLINK sebelum digantikan dengan Oik ? Ibu tau BLINK kan ?” Chris benar-benar bertanya dengan mata yang berbinar penuh harap. Dibelakang pun terlihat Kanya dan Cakka dengan wajah ingin tau mereka.

                Pelan Ibu Icha menghembuskan nafas beratnya. Mungkin hal yang ditanyakan Chris terlalu berat untuk ia jawab. Mungkin ?

“ Iya..” jawabnya pelan bahkan sangat pelan. Sedikit lebih pelan lagi mungkin tidak ada yang akan mendengarnya.

                Chris dan Kanya pun bersorak bahagia. Sedang Cakka hanya tersenyum simpul. Cakka tau kalau sekarang ini Chris dan Kanya sedang sangat bahagia. Apalagi jika berita ini sampai terdengar oleh Gabriel dan Ify, mungkin ekspresi mereka akan lebih hebat lagi.

“ Tapi…” Chris, Kanya , dan Cakka pun segera menatap Ibu Icha.

“ Tapi jangan katakan pada siapapun dulu tentang kepindahan dia ke sekolah kita.” tutur Ibu Icha. Chris, Cakka, dan Kanya hanya berkerut bingung.

“ Kenapa ?” tanya Cakka yang mewakili rasa penasaran semua yang ada disana.

“ Saya juga tidak tau, tapi itu adalah permintaannya. Dan apakah kalian tidak sadar akan sesuatu hal disini ?”

“ Sadar apa bu ? Kami tidak mengerti maksud Ibu ?” tanya Kanya lembut. Rasa penasaran kini mulai menyelimuti dirinya dan yang lainnya.

“ Kenapa Sivia memilih SMA Swasta Higashi yang nyatanya lebih mengutamakan akademiknya daripada SMA Swasta Higuchi yang sangat kuat pada bidang seni. Apalagi setau saya, semua sahabat Sivia bersekolah disana. Dan jika ia kembali bukankah yang harusnya ia temui pertama kali adalah sahabatnya. Bukan memilih orang lain yang mungkin tidak akan mengenalnya disini.” Chris, Cakka, dan Kanya hanya mengangguk mengerti. Semua yang dikatakan oleh Ibu Icha memang benar adanya.

“ Jadi tunggu saja sampai dia masuk ke sekolah ini.”

“ Dan kalian akan tau alasannya..”

“ Semoga…”

><><><><><><><><>< 

                Entah apa yang mendorong Gabriel sampai ia melajukan mobilnya ke rumah ini. Rumah seseorang yang sangat berarti baginya, dulu dan sampai kapanpun. Ia masih terdiam di mobilnya, menatap lama rumah penuh kenangan itu. Kenangan-kenangan manis dan pahitnya.

                Saat ia ingin melajukan mobilnya meninggalkan rumah itu, tiba-tiba sebuah taksi berhenti tepat di depan rumah itu. Seorang wanita dewasa pun turun dari dalam taksi. Wanita itu adalah salah wanita yang sangat ia kenal. Wanita yang pergi bersama gadis yang telah mengisi seluruh hatinya. Gabriel segera membatalkan niatnya untuk pergi dan segera keluar dari mobil dan berlari menghampiri wanita itu.

“ Tante…” panggil Gabriel, wanita dewasa itu segera menoleh. Wajahnya pucat seketika ketika melihat Gabriel disana. Sedang dari dalam taksi terlihat seorang gadis mengurungkan niatnya untuk turun. Gadis itu pun menundukkan kepalanya dan sedikit mengitip dari bawah jendela taksi.

“ Tante udah pulang ? Sivia juga ikut pulang kan ? Sivia mana ? Apa dia sudah ada di dalam rumah ? Bagaimana keadaan Sivia tan ? Dia sudah semuh kan tan ? Gabriel kangen banget sama Sivia tan.” kata Gabriel bertubi-tubi. Wanita itu masih terdiam, matanya sebentar menatap ke dalam taksi.

“ Maaf Gab, dia gak ikut pulang bareng tante. Tante minta maaf banget gak bawa pulang dia.” Mendengar penuturan itu rasanya semua harapan Gabriel yang baru muncul hancur seketika.

“ Dia masih disana..”

“ Tapi kenapa tan ?” tanya Gabriel lemah. Semua harapan kecilnya serasa tebang bagai debu.

“ Gabriel udah kangen banget sama Sivia.” Mendengar itu, jantung gadis yang masih berada di dalam taksi itu berdetak tak beraturan. Karena ia merasakan hal yang sama dengan Gabriel.

“ Jalan Pak !” Taksi itu segera berjalan meninggalkan Gabriel dan wanita itu yang masih berdebat kecil.

“ Aku juga kangen sama kamu..” Pelan gadis itu meraih kalung berbandul bintang di lehernya.

“ Selalu..”

“ Tapi kalung dari kamu ini selalu menemani seluruh hariku disana..”

><><><><><><><><>< 

                Sedari tadi Chris, Kanya, dan Cakka berdiri di gerbang sekolah mereka. Mereka sedang menunggu gadis itu. Gadis yang mungkin bisa membantu mereka memenangkan pertandingan melawan SMA Higuchi. Walau alasan sebenarnya mereka ada disana bukan itu, mereka benar-benar rindu akan sosok manis gadis itu.

                Tak lama sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. Chris, Cakka, dan Kanya pun sangat mengenal mobil itu. Secara perlahan, seorang gadis cantik turun dari mobil itu. Mata Kanya benar-benar memanas saat melihat gadis yang baru saja turun dari mobil. Sementara Cakka dan Chris terus berusaha bersikap tenang.

“ Kalian..” gadis itu benar-benar terkejut saat melihat orang-orang dihadapannya. Ia benar-benar tidak menyangka bisa bertemu dengan mereka. Bukan karena bahagia, tapi karena semua rencananya untuk pulang diam-diam hancur.

                Kanya segera menghambur, memeluk gadis cantik itu. Chris dan Cakka masih memandang gadis itu. Chris dan Cakka melihat ada perubahan besar pada tubuh gadis itu. Ia begitu kurus, namun bukan kurus yang wajar, wajahnya pun tidak terlalu terlihat segar.

“ Sivia, kamu kurusan ya ?” Kanya melepaskan pelukannya dan menatap Sivia. Sivia hanya tersenyum lelah.

“ Seandainya aku tau kalian sekolah disini, aku tidak akan masuk kesini.” tutur Sivia dingin. Cakka, Chris, dan Kanya tersentak kaget. Dan dengan cepat Sivia berjalan meninggalkan ketiga orang itu.

“ Maaf…” lirih Sivia terlihat beberapa bening air mata jatuh dari mata indahnya.

><><><><><><><><>< 

“ Kemarin aku lihat tante Desi pulang.” tutur Gabriel. Ify, Alvin, Shilla, Pricilla, dan Oik yang berada disana benar-benar terkejut mendengar perkataan Gabriel baru saja itu.

“ Apa dia akan mengambil alih semua yang telah aku dapat bersama BLINK.” batin Oik, kepalanya kini menunduk dalam tapi pelan Oik merasakan tangan hangat menggenggam erat tangannya.

“ Aku gak bakal biarin dia kembali ke BLINK dan rebut posisi kamu.” tutur Shilla tepat di telinga Oik. Memang sejak keluarnya Sivia, dan dia diganti dengan Oik. Oik dan Shilla menjadi sangat dekat bahkan mereka sekarang bersahabat.

“ Beneran Yel, lalu Sivia ada ? Gimana keadaannya ? Udah sembuh kan?” tanya Ify dan Pricilla dengan begitu semangat. Gabriel hanya menggeleng lelah.

“ Dia gak ikut. Aku juga gak tau kenapa dia gak ikut.”

“ Yang sabar ya, yakin aja kalau suatu saat nanti kamu pasti bisa ketemu sama dia.” Ify mencoba memberi semangat walau sebenarnya hatinya begitu terluka, di satu ia ikut merasakan apa yang dirasakan Gabriel, tapi di sisi lain ia begitu terluka tau kalau cintanya tidak terbalas.

“ Iya, aku pasti akan selalu sabar nunggu dia.”

“ Selalu…”

><><><><><><><><><>< 

“ Sivia, kami benar-benar butuh bantuan kamu.” pinta Chris. Kini Sivia dan Chris sedang bicara empat mata, mereka memutuskan berbicara berdua agar suasana yang tercipta lebih baik daripada tadi pagi.

“ Mengertilah Chris, aku memilih sekolah ini karena aku tidak mau sosokku kelihatan sama kalian semua. Mengertilah !” Sivia menatap Chris tajam. Tatapan Chris berubah menjadi lembut mendengar penuturan Sivia baru saja.

“ Kenapa Sivia ? Kenapa ?” tanya Chris pelan.

“ Maaf aku tidak bisa mengatakannya padamu. Dan coba kamu lihat, di sekolah ini tidak ada yang mengenal aku. Yahh, kecuali kamu, Kanya, dan Cakka.” Sivia mencoba menahan bulir air mata yang kini siap menyeruak dari matanya.

“ Maaf aku tidak bisa membantu. Dan sekali lagi aku minta tolong sembunyikan keberadaanku.” Sivia berjalan meninggalkan Chris yang kini masih terpaku di tempatnya.

“ Siviaaa…..”

><><><><><><><><><>< 

                Sivia dan semua siswa kelasnya sedang mendengarkan penjelasan guru biologi mereka saat sebuah ketukan menghentikan aktivitas mereka. Beberapa anak masuk dan berbicara sebentar pada bu Ida guru biologi mereka. Tidak lama Bu Ida pun pergi meninggalkan kelas.

“ Kalian gak ada puas-puasnya ganggu belajar kita ya.” kata salah seorang murid pada anak-anak yang kini berada di depan kelas. Sivia masih diam, dia hanya ingin tau apa yang sedang terjadi.

“ Maaf kalau kami mengganggu lagi. Kami benar-benar butuh keikutsertaan kalian dalam lomba bidang seni melawan SMA Swasta Higuchi. Apakah kalian mau sekolah kita diremehkan mereka.”

“ Kan sekolah ini jago di bidang akademik kenapa kalian gak bener-bener fokus pada lomba bidang akademiknya saja. Lalu kalau kalian mau bukankah disini juga ada 3 orang artis. Gunakan saja mereka sebagai peserta bidang seni.” tutur Sivia, para siswa OSIS yang berada di depan kelas pun langsung memandang Sivia.

“ Kamu anak baru ?” tanya salah seorang dari mereka. Sivia hanya mengangguk membenarkan.

“ Pantas, kalau begitu saya jelaskan. Kalau bidang akademik kami sudah pasti menang dan buat peserta yang mau ikut lomba akademik memang sudah mengajukan diri dan mulai dipilih.” Sivia hanya mengangguk mengerti ketika anak OSIS yang menjelaskan menatapnya.

“ Lalu disini ada peraturan kalau masing-masing siswa tidak boleh mengikuti lebih dari 1 lomba, maka dari itu artis yang juga bersekolah disini mungkin hanya bisa membantu sedikit. Dan kami benar-benar butuh bantuan semua siswa.”

“ Kamu mau ikut ?” tanya anak OSIS itu. Sivia hanya menggeleng lemah.

“ Maaf aku tidak tertarik.” Serempak setelah Sivia mengatakan itu semua murid kelasnya menyoraki para anggota OSIS yang ada dikelasnya.

“ Denger tuh bahkan anak baru aja gak mau ikut lomba konyol bidang seni kalian !” celetuk seorang siswa.

“ Mending kalian keluar dari kelas kami. Kami mau belajar !!”

><><><><><><><><><>< 

                Sivia terdiam, ia mengingat kejadian di kelasnya tadi. Jujur saja ia merasa kasihan melihat anak-anak OSIS tadi. Sivia pun berpikir hal yang sama pasti dialami oleh Chris, Kanya, dan Cakka. Sivia terus terdiam sampai teman sebangkunya menepuk pundaknya.

“ Mau ke perpus ?” tawar teman sebangkunya. Sivia hanya menggeleng lemah.

“ Aku lapar mau ke kantin. Kira-kira kantin ramai gak ya ?” tanya Sivia pada teman sebangkunya. Teman sebangkunya hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaan dari Sivia.

“ Gak kok, murid sini jarang makan di kantin saat istirahat. Mereka kebanyakkan milih menghabiskan waktu istirahat mereka di perpus. Kalau gitu aku ke perpus duluan yaa.” Gadis tadi pun berjalan meninggalkan Sivia sambil melambaikan tangannya.

                Sivia hanya tersenyum. Ia pun mulai berjalan meninggalkan kelasnya sembari menuju ke kantin. Sivia memandang sekelilingnya sebentar. Benar-benar sepi, hanya terlihat sedikit orang yang berada di lapangan atau pun tempatnya sekarang kantin.

“ Bibi saya mau jus jeruk sama siomay dong.” Pinta Sivia pada sang bibi penjaga kantin.

“ Bi, semua murid disini kemana sih kok gak kelihatan ? Apa mereka gak pernah makan ?”tanya Sivia saat sang Bibi penjaga kantin memberikan makanan pesanannya.

“ Neng murid baru yaa ?” tanya sang bibi, Sivia hanya mengangguk sambil tersenyum manis.

“ Anak-anak sini mah gak ada yang makan waktu istirahat pertama. Mereka mah milih ke perpustakaan yang besar banget itu. Lalu mereka juga makan sih tapi waktu istirahat panjang nanti.” Sivia hanya mengangguk mengerti dan berjalan menuju ke salah satu meja kantin.

><><><><><><><><>< 

                Gabriel terus berdiam di bangkunya. Bahkan ponselnya yang sedari tadi berbunyi pun tidak ia pedulikan. Sampai seseorang datang menghampirinya.

“ Gabriel…” teriak seorang laki-laki. Gabriel segera menatap laki-laki yang baru saja memanggilnya itu.

“ Ngelamun aja. Ayo kita cabut ! Ada jadwal manggung nih.” teriak Dayat keras, dengan agak malas Gabriel pun membereskan bukunya.

“ Sivia, aku kangen banget sama kamu..”

><><><><><><><><>< 

                Sudah 3 hari Sivia sekolah di Higashi, sudah 3 hari pula Cakka, Chris, dan Kanya bergantian membujuknya supaya mau membantu mereka. Perlombaan pun hanya tinggal 2 minggu 3 hari lagi. Jujur saja Sivia benar-benar tidak tega melihat Cakka, Chris, dan Kanya yang selalu mendatanginya dan meminta bantuannya.

“ Ya sudah kalau kamu tidak mau membantu kami.”

“ Tapi kami benar-benar mengharapkan bantuanmu.”

“ Sivia..”

*********




_mei_


Lihat Lebih Dekat Part 12


Lihat Lebih Dekat Part 12
~ Penyakit Sivia ~


                Sivia sedari tadi tidak berhenti memukul pintu kamarnya. Ia benar-benar berharap Rio membukakan pintu untuknya. Walaupun begitu Sivia sadar, Rio melakukan ini karena dia menyayangi Sivia dan karena Sivia mungkin melakukan hal yang salah.

“ Kak Rio….” Teriaknya pelan.

“ Sivia minta maaf kak !”

                Tiba-tiba saja Sivia memegang dadanya. Dadanya terasa sangat sesak dan nafasnya mulai tidak beraturan. Dengan bertumpu pada dinding kamarnya, Sivia berjalan pelan. Dengan cepat ia mengobrak-abrik isi tas sekolahnya tapi botol obat yang ia cari tidak ada disana.      

                Rasa sakit semakin menguasainya. Pelan tubuh Sivia turun ke lantai. Rasanya seluruh badannya lemas dan tidak bisa digerakkan.

“ Kak Rio..” lirih Sivia pelan, air mata mulai turun membasahi pipi Sivia. Sementara tangan Sivia terus memukul dadanya dengan keras, ia hanya ingin mengusir rasa sakit yang teramat sangat itu.

><><><><><><><><>< 

                Rio berjalan dengan wajah masamnya. Sekarang pikirannya sedang melayang kemana-mana. Ia begitu sedih mengingat keadaan Sivia. Ia benar-benar tidak ingin kehilangan Sivia. Walau begitu mungkin Rio sedikit mengerti kenapa Sivia melakukan hal itu. Mungkin Sivia hanya ingin mencoba hal yang belum pernah ia lakukan sama sekali.

“ Kak Riooo…” panggil dua orang anak remaja yang berjalan mendekati Rio.

“ Sivia mana kak ?” tanya salah seorang dari mereka.

“ Di rumah.”

“ Sakit lagi kak ??” Tiba-tiba saja raut wajah kedua orang itu berubah menjadi cemas. Mereka sama-sama takut terjadi apa-apa pada gadis yang begitu mereka sayangi itu.

“ Ify, Gabriel kalian tenang aja. Sivia gak kenapa-kenapa kok cuma sedang aku hukum di kamar.” Jelas Rio. Ify dan Gabriel berkerut tidak mengerti.

                Rio menghela nafas panjangnya. Kemudian ia menatap Gabriel dan Ify dan mulai menjelaskan duduk perkaranya.

><><><><><><><><><>< 

                Laki-laki ini sedang fokus pada jalanan pagi kota Jakarta. Sebenarnya pagi ini ia sudah sampai di sekolah tapi karena tadi ia mendengar percakapan beberapa orang, ia pun memutuskan untuk meninggalkan sekolah dan melanjutkan rencananya.

“ It’s my second step.” Senyum licik tergambar jelas dari wajahnya.

                Tak lama mobil yang ia kendarai sampai di sebuah rumah besar. Ia pun masuk diam-diam ke rumah itu. Pelan, laki-laki itu berjalan mengelilingi halaman rumah itu. Langkahnya terhenti saat ia tiba di depan sebuah anak tangga yang lucu, dilihatnya bagian atas anak tangga itu.

                Di ujung anak tangga itu ada sebuah balkon kamar. Disana pun terdapat beberapa pot bunga dengan tanaman mawar putih yang mulai berkembang. Menurut informasi yang ia dapat, di rumah ini hanya ada dua orang tua, pembantu, dan dua orang anak.

                Ia tersenyum, ia tau, ini kamar sasarannya. Jelas saja ia tau karena anak dari rumah ini hanya satu laki-laki dan satu perempuan. Dan mana mungkin seorang laki-laki menanam bunga mawar putih di balkonnya.

                Dengan cepat laki-laki itu menaiki satu persatu anak tangga. Dan kini ia telah sampai di balkon kamar itu. Ia agak sedikit kaget ketika tiba disana, ia mendengar suara tangisan dan rintihan. Laki-laki itu pun mencoba mengitip dari sela gorden yang tersingkap. Dan matanya benar-benar terbelalak kaget melihat gadis incarannya menangis dan tergeletak tak berdaya di lantai kamar.

><><><><><><><><>< 

“ Tapi setelah Sivia ikut balapan dia gak apa-apa kan ?” tanya Gabriel dan Ify dengan nada cemas. Rio hanya mengangkat bahu.

“ Kok gak tau sih kak ?” tanya Ify.

“ Aku cuma bingung. Kemarin itu setelah balapan, aku lihat wajah Sivia yang pucat banget. Tubuhnya juga lemas banget. Tapi…”

“ Tapi apa kak ?” tanya Gabriel dengan tidak sabar.

“ Tapi waktu Sivia tidur. Aku lihat dari wajahnya dia itu bahagia banget.” tutur Rio, Ify dan Gabriel hanya terdiam.

“ Mungkin karena selama ini aku terlalu mengekangnya.”

“ Kakk Rio..” Panggilan dari seorang laki-laki, menghentikan pembicaraan serius antara Rio, Gabriel, dan Ify.

“ Ada apa Alvin ?” tanya Rio saat melihat siapa yang memanggilnya.

“ Ini, Alvin cuma mau ngembaliin vitamin ke Sivia tapi Alvin gak lihat dia dari tadi.” tutur Alvin sambil menyerahkan botol obat milik Sivia.

“ Vitamin ? Ini kan obat.” kata Rio pelan.

“ Obat apa ? Kemarin si Sivia bilang ini vitamin.” Alvin mulai berkerut tidak mengerti, Rio hanya tersenyum kecut.

                Secara tiba-tiba Rio merasakan ponselnya bergetar. Dengan cepat Rio melihat siapa yang menelepon.

“ Rumah..” batin Rio bingung, tapi Rio tetap mengangkat telepon itu.

“ Halo !” sapa Rio.

“ Den Rio, ini bibi. Disini ada temen non Sivia yang bilang kalau non Sivia pingsan di kamar.” Rio tersentak seketika mendengar penuturan sang bibi pembantu rumah mereka.

“ Apa Bi ?” tanya Rio tidak percaya, sekarang Ify, Gabriel, dan Alvin menatap Rio bingung.

“ Halo kak Rio ! Ini aku Chris, tadi dari jendela kamar Sivia aku lihat dia sedang pingsan.Terus kakak taruh dimana kunci kamar Sivia.” Terdengar nada panik dari suara Chris.

“ Chris, cepat kamu suruh bibi ambil kunci di meja belajar kamar aku. Terus bawa Sivia ke Rumah Sakit Kasih Ibu. Aku tunggu disana dan jangan sampai terlambat, Please.” Pinta Rio. Alvin yang mendengar nama Chris disebut benar-benar merasa tidak suka sekaligus bingung. Sedang Gabriel dan Ify sudah sangat cemas mendengar nama Sivia dan Rumah Sakit disebut-sebut.

“ Baik kak. Aku akan membawanya secepat mungkin.”

                Rio segera memutus teleponnya dengan Chris. Segera ia berlari menuju ke tempat parkir. Dibelakangnya Gabriel, Ify, dan Alvin mengikutinya.

                Sesampainya di tempat parkir Rio segera membuka mobilnya dan masuk ke dalamnya. Diikuti Gabriel, Ify, dan Alvin yang ikut masuk ke mobilnya.

“ Heh kenapa kamu ikut masuk ?” tanya Ify ketika sadar kalau Alvin sedang duduk disebelahnya. Gabriel segera menengok ke belakang dan memandang Alvin aneh, sedang Rio tetap fokus pada jalanan.

“ Emang gak boleh ?” tanya Alvin dengan nada dinginnya. Ify hanya melengos sebal dan kembali memusatkan pikirannya pada keadaan Sivia.

><><><><><><><><>< 

                Chris tidak henti-hentinya menatap wajah pucat Sivia. Entah kenapa ia begitu sedih melihat keadaan Sivia sekarang. Sebelah tangan Chris mulai menyentuh wajah Sivia perlahan.

“ Cantik..” gumamnya.

                Chris menggelengkan kepalanya kuat saat tau apa yang baru saja ia ucapkan. Ia mencoba menekan semua rasa kasihan pada gadis yang akan jadi sasaran permainannya untuk menghancurkan Alvin.

“ Aku gak boleh lemah. Aku harus bisa membalas Alvin.” tegas Chris, perlahan tangannya turun dari wajah Sivia.

“ Maaf kalau nanti aku melukaimu..” Chris pun segera melajukan mobilnya dengan cepat.

“ Maafkan aku Sivia…”

><><><><><><><><>< 

                Dengan cepat Chris mengangkat tubuh Sivia yang kini terkulai lemas. Dari ujung koridor depan ia dapat melihat Rio, Ify, Gabriel, dan Alvin.

“ laki-laki itu lagi.” Chris dari dalam hati.

                Rio yang mengetahui Chris sudah dekat dengan mereka segera mengambil alih Sivia dari gendongan Chris. Dengan cepat Rio meletakkan Sivia di tempat tidur, para suster pun segera membawa Sivia ke UGD. Mereka semua masih gelisah menunggu kehadiran dokter. Wajah Rio pun terlihat sangat lelah. Pelan Ify menarik Rio ke pelukannya.

  Kak Rio tenang yaa., Sivia kuat kok !” Ify mencoba menguatkan Rio dengan kata-katanya. Tapi sayang itu tidak berhasil, Rio tetap gelisah.

                Sementara Gabriel dan Alvin benar-benar terlihat gelisah. Mungkin mereka takut orang yang mereka cintai kenapa-napa, walau Alvin belum sadar akan perasaannya pada Sivia. Sedang Chris terus menatap tak suka pada Alvin.

“ Semudah itu kamu melupakan Keke yang merelakan hidupnya untukmu.”

                Tak lama pintu terbuka, mereka melihat Sivia yang dipindah ke ruang lain oleh beberapa suster. Tidak berselang lama seorang dokter keluar. Rio segera menghampiri sang dokter dan bertanya bagaimana keadaan adiknya sekarang.

“ Dok bagaimana keadaan Sivia ?” Sang dokter hanya menggeleng pasrah.

“ Maaf, kita benar-benar butuh donor jantung untuk Sivia.” Alvin dan Chris tersentak kaget mendengar penuturan dokter, mereka kan memang sama sekali tidak tau soal penyakit Sivia.

“ Kenapa dia butuh donor jantung ? Bukannya dia baik-baik saja ?” tanya Alvin dan Chris bersamaan, mereka lalu saling pandang sebentar lalu membuang muka.

“ Tidak, dia tidak baik-baik saja. Asal kalian tau selama ini dia menggunakkan jantung buatan. Dan dia harus bertaha dengan jantung itu.” Dengan cepat Rio menghapus air mata yang baru saja turun dari matanya.

                Alvin dan Chris terdiam. Mereka tidak menyangka sama sekali.

><><><><><><><><>< 

                Alvin masuk ke kamar rawat Sivia secara perlahan. Ia masuk setelah melihat Rio, Gabriel, Ify, dan Chris keluar dari kamar rawat Sivia. Pelan ia mendekati ranjang Sivia. Ia duduk di samping tempat tidur Sivia. Entah apa yang membuat Alvin menganggam tangan Sivia.

                Alvin tidak mengerti, setiap ia di dekat Sivia, ia selalu kehilangan kontrol dirinya. Ia yang semula pendiam dan dingin bisa berubah menjadi seorang yang cerewet dan begitu perhatian.

“ Aku gak pernah nyangka kalau kamu selemah ini.” Alvin semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Sivia.

                Pelan Alvin merasakan gerakan tangan Sivia yang mulai sadar. Alvin kini menatap mata Sivia yang mulai mengerjap dan terbuka.

“ Kamu sudah tidak apa-apa ?” Sivia mendengar pertanyaan itu tapi tidak terlalu jelas. Yang ia tau suara bariton milik laki-laki itu bukan milik Rio ataupun Gabriel. Sivia mencoba membuka matanya lagi, dan kali ini ia berhasil. Ia menatapa pelan laki-laki dihadapannya.

“ Alvin ??” lirih Sivia dengan sisa tenaganya.

“ Kenapa kamu gak pernah bilang kalau kamu punya penyakit jantung. Harusnya kamu bilang ! Kalau kamu bilang aku gak akan pernah ajak kamu balapan. Maaf..” kata Alvin, Sivia memandang Alvin lalu tersenyum.

“ Ini bukan salah kamu kok. Aku yang mau..”

“ Sivia, aku suka padamu…” ucap Alvin secara tegas.

**********

***terima kasih udah mau baca***
***bagi yang udah baca diharapkan buat ninggalin jejak buat penulis***



_mei_