Jumat, 18 Mei 2012

Tentang Kisah [3]


Tentang Kisah [3]

                Rio memandang dengan semangat rumah di depannya. Rumah yang cukup besar tapi terlihat begitu sepi. Dengan semangat yang masih berkobar Rio mengetuk pintu rumah itu. Rasanya tidak sabar menunggu gadis yang ia sukai membukakan pintu.

Tidak perlu menunggu lama, pintu rumah itu terbuka perlahan. Rio yang awalnya sudah mempersiapkan senyum termanisnya dan godaan untuk gadis itu,  hanya bisa ternganga.  Rio memandang aneh dan tidak suka pada laki-laki yang berada dihadapannya. Bukan hanya Rio, ekspresi serupa juga ditunjukkan laki-laki itu kepadanya.

“ Lo..” kata mereka bersamaan, dari nada suara pun terdengar kalau mereka tidak senang.

“ Ngapain lo disini ?” tanya Rio dan orang itu bersamaan lagi.

“ Gue yang harusnya tanya kayak gitu. Ini rumah gue. Terus lo ngapain disini ?” Rio hanya bisa melongo mendengar jawaban dari orang itu.

“ Rumah lo ? Bukannya ini rumah Via ? Sivia Adinda ?” masih dengan ekspresi terkejut Rio balik bertanya pada teman satu kelas, saingannya, sekaligus ketua OSIS Permata, Cakka Arima.

“ Kak Riooo…” Panggilan ceria dari dalam rumah itu mengalihkan perhatian Cakka dan Rio. Rio dapat melihat jelas gadis yang ia cari sedang berjalan ke arahnya. Tapi tunggu ? Dengan siapa dia berjalan ? Laki-laki ? Pacarnya ? Ada rasa tidak suka yang menjalar keluar dari hati Rio saat melihat Sivia berjalan beriringan dengan laki-laki yang tidak ia kenal.

“ Sebenarnya seberapa banyak sih saingan gue.” batin Rio, ia sedikit gusar melihat dua laki-laki yang kini berdiri di hadapannya. Sedangkan Sivia sekarang sudah berada di depan Rio.

“ Mana ponsel Via ?” Rio tersenyum kecil sembari memandang Sivia yang mengulurkan tangan ke arahnya. Detik berikutnya ponsel itu sudah berada di tangan Sivia. Sivia pun tersenyum sambil memandang Rio.

“ Maaf merepotkan..” Sivia tersenyum lagi, Rio pun membalas senyuman dari Sivia.

“ Tapi salah kakak juga sih. Kenapa pakai acara sita ponsel Via mana lupa ngembaliin..” Sivia memamerkan deretan giginya yang putih pada laki-laki itu.

“ Candaaaa kaakkk..” lanjut Sivia saat melihat wajah Rio yang masam.

“ Oh iya Vi, mereka berdua pacar lo semua ? Wahh.. Wahh hebat bener lo.” Rio bertanya dengan nada menggoda pada Sivia. Walaupun  ia sendiri sedang was-was menunggu jawaban gadis itu. Sivia yang mendengar pertanyaan Rio hanya bisa tertawa.

“ Bukan ! Dia ini Alvin sahabat gue. Kalau dia lo pasti udah kenal kan ? Dia kakak gue.” Sivia menunjuk bergantian Alvin dan Cakka. Rio yang mendengar jawaban Sivia memandang takjub ke arah Cakka. Kakak ??

“ Bukannya Cakka suka samaaaa….”

“ Kak Cakka kenapa ? Suka sama siapa ??” terlihat jelas kalau Alvin sangat tertarik dengan topik ini. Kali ini giliran Rio menatap aneh laki-laki yang tadi diperkenalkan oleh Sivia. Alvin sendiri terus menatap Rio, ia benar-benar ingin memastikan argumennya selama ini.

“ Gak papa kok, gak usah lo pikirin.”

“ Dan buat lo…” Rio mencubit pelan hidung Sivia, hal itu jelas saja membuat Alvin dan Cakka menjadi kesal. Sedangkan Sivia hanya memanyunkan bibirnya.

 “ Lain kali jangan main ponsel kalau Bu Reni lagi nerangin. Ketauan, nyahok lo.” Sivia yang dinasehati oleh Rio hanya bisa memamerkan cengiran lebarnya. Agak malu juga sih.

                Sekarang terjadi keheningan di antara mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang angkat suara duluan. Mungkin kehilangan topik untuk dibicarakan.

“ Kka, gue boleh bicara bentar sama lo ?” Rio kini berbalik menghadap Cakka yang masih berdiri di depan pintu. Sivia dan Alvin yang dari tadi diam pun kini memandang Cakka dan Rio.

“ Sorry, gue gak ada urusan sama lo. Lagian gue gak punya waktu buat orang kayak lo.” Cakka dengan langkah santainya berjalan meninggalkan Rio. Rio yang menerima tanggapan seperti itu hanya melemparkan senyum sinisnya.

“ Jelas kita ada urusan ! Kita menyukai orang yang sama, Cakka Arima.” Cakka berhenti berjalan ketika mendengar kata-kata Rio. Sementara Sivia dan Alvin mulai mencerna ke mana arah pembicaraan kedua laki-laki itu.

 “ Tapi gue tau kalau gue yang bakal menang karena cinta lo gak bakal bisa bersatu. Skak mat Cakka Arima !” Rio tersenyum sinis, kali ini Cakka menatap geram ke arah Rio. Alvin diam, dia tau siapa gadis yang ada di hati kedua kakak kelasnya itu. Sementara Sivia terus menggelengkan kepalanya, ia tidak mengerti.

                Segalanya berlangsung cepat, dari suara derap langkah sampai suara pukulan yang terdengar. Detik berikutnya Sivia melihat Rio terhuyung ke belakang, kakaknya baru saja memberikan pukulan mentah pada ketua Komite Kedisiplinan SMA Permata.

“ Sialan lo Kka..” kali ini pukulan mentah Rio yang melayang tepat ke wajah Cakka. Tidak menunggu waktu lama aksi saling pukul pun terjadi. Alvin yang akan melerai Cakka dan Rio segera dihentikan oleh Sivia.

                Alvin kini memandang Sivia dengan tatapan tidak mengerti. Sivia yang ditatap seperti itu balik menatap Alvin lalu mengangguk pelan. Alvin kini menatap Sivia yang berjalan ke halaman rumah. Alvin mulai beranjak meninggalkan Cakka dan Rio saat melihat Sivia mengacungkan selang air ke arah mereka berdua.

                Cakka dan Rio yang masih saling pukul menghentikan aktivitas mereka saat merasakan air mengguyur tubuh. Mereka kini memandang Sivia dengan tatapan yang cukup tajam, tidak senang aksi pelampiasan kekesalan mereka diganggu. Sudah lama mereka bersitegang dan baru kali ini mereka punya alasan untuk saling memukul.

“ Viaaa…” teriak Cakka dengan suara keras.

“ Kalau kalian mau main pukul-pukulan keluar dari rumah ini. Gue gak suka, bikin malas !” Sivia dengan cepat berjalan melewati Cakka, Rio, dan Alvin. Dan dengan kasarnya ia membanting pintu rumahnya.

“ Jadi Cakka, gue yang bakal dapetin Via. Karena lo cuma kakaknya. Gak akan lebih. Dan gak mungkin bisa lebih !” Rio berkata dengan sinis pada Cakka.

“ Ha..ha..ha, lo pikir lo bisa dapetin Via. Via itu calon pacar gue. Udah lama gue suka sama dia. Jadi gak semudah itu lo dapetin dia.” balas Cakka dengan nada tak kalah sinis.

“ Via bukan barang yang bisa kalian perebutkan sesukanya dan nantinya bukan kalian yang bakal dapetin Via. Tapi gue, Alvin Praditya !” Cakka dan Rio yang saling menatap sinis tersentak mendengar suara itu, mereka kini menatap Alvin yang berjalan keluar dari gerbang.

“ Sialaan..” umpat Cakka dan Rio.

---------------------------

                Sivia berjalan tanpa suara di dapur rumahnya. Tangannya dengan cekatan mengambil baskom yang kemudian ia isi dengan air dingin. Di bahunya pun tersampir handuk bersih. Sekarang Sivia berjalan menuju kamar kakaknya. Tanpa mengetuk pintu ia langsung masuk ke kamar kakaknya, tatapan sinis adalah hal pertama yang ia dapatkan dari Cakka.  

“ Ngapain lo disini ?” tanya Cakka dingin, tapi dengan santai dan tanpa mempedulikan pertanyaan Cakka, Sivia duduk di ranjang Cakka.

“ Gue tanya sekali lagi, ngapain lo disini ?”

                Sivia masih diam sambil membasahi handuk yang ia bawa . Dan saat Cakka akan berteriak marah ia merasakan tangan dingin menarik wajahnya. Sekarang wajah Cakka berada tepat di depan wajah Sivia. Perlahan Cakka merasakan sesuatu basah menyentuh luka lebam di wajahnya.

“ Lo gak usah sok peduli sama gue.” Cakka masih tetap memandang tajam wajah Sivia yang berada tepat dihadapannya. Sivia hanya mendengus sebal mendengar kata-kata Cakka.

“ Kak Cakka, gue gak sok peduli. Gue emang peduli, lagian lo kakak gue satu-satunya.” Sivia berkata tegas, tangannya tetap mengompres lebam-lebam di wajah Cakka dengan telaten.

“ Kakak yaa..” batin Cakka. Jujur saja, saat tadi ia menatap Sivia, ia ingin sekali memeluk gadis itu. Bersikap ramah seperti yang dulu ia lakukan.

                Cakka menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, sekali lagi Sivia mendengus sebal melihat tingkah Cakka. Walau begitu Sivia masih tetap melanjutkan pekerjaannya, ia ingat setiap pagi Cakka selalu memasakkan sarapan untuknya, untuk kesehatannya.

                Perlahan Sivia menunduk dan mencium pipi Cakka.

“ Lekas sembuh kak !” Sivia kembali mengompres lebam di wajah Cakka. Sementara Cakka terus menahan senyumnya sembari tetap berpura-pura tidur.

-----------------------------

“ Cuttt..” Suara melengking Ibu Reni menghentikan Sivia dan Cakka yang sedang berdialog.

“ Aduh !! Sivia, Cakka kalian berdua kenapa sih ? Adegan saat kalian tidak berdialog bersama begitu lancar dan bagus. Tapi giliran kalian beradegan bersama, Buruk ! Intinya, romantisnya, kalian begitu kaku. Mata saya sampai sakit melihatnya berulang-ulang.”

Sivia dan Cakka diam dan sama sekali tidak membalas perkataan Ibu Reni. Mereka hanya menunjukkan raut wajah kesal. Sudah lebih dari 5 kali Ibu Reni mengulangi kata-kata itu. Tapi ini semua juga salah mereka sih, entah kenapa saat saling bertatapan semuanya terasa berat. Seperti ada jurang dalam yang memisahkan mereka.

“ Capek Bu..” keluh Sivia pada akhirnya. Ibu Reni yang mendengar itu langsung menatap Sivia dengan tatapan tajam.

“ Maaf Bu Reni, ini sudah jam 7 malam. Kita sudah latihan dari tadi siang. Dan semuanya juga sudah lelah.” Sebelum Ibu Reni memarahi Sivia, Rio segera menyela dan memberikan alasan yang cukup masuk akal.

“ Huhh. Baiklah, semuanya boleh pulang.” bata-kata yang sebenarnya biasa itu terdengar sangat indah di telinga semua pemain dan kru pentas ini.

“ Cakka dan Sivia, kalau kalian besok masih berakting dengan buruk, jangan harap kalian bisa pulang.” Sivia hanya memandang malas guru itu dan mengangguk.

“ Kak Rio terima kasih..” Sivia melemparkan senyumnya pada Rio yang sedang membereskan property drama ini. Rio sendiri mengacungkan ibu jarinya pada Sivia.


“ Lo pulang sama gue.” Sivia terdiam mendengar kata-kata Cakka. Ia sedikit ragu.

“ Lo boleh duduk dibelakang.” Sivia sedikit lega mendengar kata-kata Cakka. Ia masih takut duduk di bangku depan sebelah supir.

“ Makasih kak Cakka.” Sivia tersenyum pelan dan mengikuti langkah Cakka.

“ Lo kalah satu langkah Mario.” Cakka berhenti sejenak di samping Rio, berkata dengan sangat pelan.

“ Cuma satu langkah. Berikutnya lo bakal skak mat !” balas Rio pelan. Sivia hanya menggeleng melihat tingkah dua orang itu. Dia sama sekali tidak sadar kalau dirinyalah yang membuat kedua laki-laki itu bersitegang.

-----------------------

                Dengan langkah gontai Sivia melangkah menuju pintu depan rumahnya. Cakka sendiri mengikuti dibelakangnya. Cakka agak sedikit heran ketika Sivia mengetuk pintu. Rumahnya kan sepi ? Jadi untuk apa mengetuk pintu.

“ Selamat datang !” Sivia tersenyum sumringah mendapati Alvin yang membukakan pintu rumahnya. Sebelum pulang ia memang sempat mengirim pesan pada Alvin agar menemaninya bercerita malam ini. Cakka sendiri diam melihat Alvin disana.

“ Lo kece deh Vin pake itu.” Sivia menunjuk celemek yang dipakai oleh Alvin. Alvin sendiri hanya menunjukkan cengiran lebarnya.

“ Gak usah lo bilang, gue tau kalau gue kece.” Sivia mendecih pelan, ia lupa betapa narsisnya sahabatnya ini.

“ Gue masak buat lo sama kak Cakka. Lo pasti belum makan kan ? Dan pasti capek juga kan ? Kalau gitu cepet masuk !” Dengan cepat Alvin merangkul bahu Sivia. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang makan. Cakka sendiri masih diam di depan pintu.

“ Kenapa gue selalu kalah satu langkah sama Alvin.”

----------------------------

                Sivia sedang tidur-tidur ayam di atas tempat tidurnya. Sedangkan Alvin memainkan asal gitar milik Sivia, sembari menunggu Sivia memulai bercerita.

“ Capek Vi ?” tanya Alvin pada akhirnya.

“ Hmm, Vin, entah kenapa gue susah banget beradegan sama Kak Cakka.” Sivia membalik tubuhnya dan kini menghadap Alvin.

“ Canggung ?”

“ Entahlah, setiap di dektanya ada rasa nyaman dan rasa tidak nyaman.” Sivia menepuk-nepuk ranjangnya, itu tanda agar Alvin duduk disana, menemaninya.

“ Lo suka sama dia ?” Alvin bertanya pelan, Sivia mendongak kali ini sambil bergerak mendekat ke arah Alvin.

“ Mungkin, tapi itu dulu. Gue udah kehilangan dia yang dulu.”

“ Maksud lo ?” Alvin melihat Sivia mengedikkan bahunya. Perlahan tangan Sivia bergerak memeluk Alvin. Mencari kenyamanan.

“ Dulu sebelum dia jadi kakak tiri gue, gue sempet suka sama dia. Tapi itu dulu, cerita lama.” Alvin perlahan mengurai pelukannya pada Sivia. Memandang lekat mata gadis itu.

“ Itu dulu Vin. Semuanya sudah berakhir, sejak dia jadi kakak gue.” Sivia mulai membaringkan tubuhnya, Alvin menghela nafas dan menarik selimut untuk menutupi tubuh Sivia.

“ Banyak istirahat. Jangan kecapekan.” Alvin mencium lama kening Sivia, Sivia hanya tersenyum dan kemudian ia membalas mencium pipi Alvin.

“ Selamat malam Via !”

“ Selamat malam Alvin !”

                Alvin menutup pintu kamar Sivia dengan pelan. Setelah pintu itu benar-benar tertutup, ia tetap tidak beranjak sama sekali dari sana.

“ Gue suka sama lo..”

“ Siapa yang bakal dapetin lo ? Dimana hati lo sekarang ? Gue bingung Vi..”

“ Hati dia belum buat siapa-siapa. Tapi lo harus tau, kalau gak lama lagi hati itu bakal buat gue. Seluruhnya buat gue.” kata Cakka, Alvin agak terperanjat melihat Cakka yang sudah ada disampingnya. Sejak kapan kakak tiri Sivia itu ada disana.

“ Lo mau buat dia sakit kak ?”

“ Maksud lo ?”

“ Kalau sampai dia menyerahkan hatinya buat lo. Kalian gak mungkin bisa bersatu. Ingat status kalian !”

“ Tapi lo tenang aja kak. Yang bakal dapatin hati Via itu gue, bukan lo atau kak Rio.” Alvin berjalan santai meninggalkan Cakka yang mendengus sebal.

“ Tapi gue cinta sama dia..”

“ So ! Gue juga cinta sama dia.” balas Alvin santai.

********


***Makasih buat yang udah baca***
***Harap tinggalkan jejak buat penulis***


_mei_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar