Cinta itu bukan air yang mengalir
begitu saja,
Cinta itu tercipta karena usaha
yang dilakukan.
Pertandingan basket sudah berjalan 2
quarter. Gadis itu terus berdiri di salah satu sisi lapangan basket. Matanya
selalu bergerak-gerak, mencoba mengikuti salah satu sosok pemain basket.
Terkadang terkembang senyum dari bibirnya.
“Sivia,
ayo kita kesana!” gadis itu hanya menggeleng pelan, menolak ajakan salah satu
sahabatnya.
“Hubungan
kami gak selancar itu untuk bisa saling menyemangati.” ungkap Sivia.
“Hubungan
kalian juga gak seburuk itu untuk tidak membolehkanmu menonton pertandingan
ini.”
“Aku
senang, aku senang menontonnya dari sini karena mungkin ini yang terbaik untuk
kami.”
Sivia kembali memfokuskan dirinya
pada pertandingan basket di lapangan. Senyum manis masih terkembang di
bibirnya. Tapi hati orang siapa yang tau.
Aku terluka melihatmu,
Tapi aku lebih terluka karena kau
tidak pernah menatapku.
Sivia duduk dengan tidak tenang di
bangkunya. Di depannya terhampar beberapa buku tugas milik teman-temannya yang
sedang berusaha dia salin secepat mungkin. Sedangkan di depan pintu kelasnya
terlihat seorang siswa laki-laki menatapnya diam-diam. Siswa itu terkadang
tertawa kecil saat Sivia mengacak rambutnya.
“Alvin,
lagi ngelihatin siapa?” Alvin, siswa laki-laki itu kini mengalihkan
pandangannya. Di sampingnya ada seorang gadis yang baru saja datang dan bersiap
bergelayut manja pada lengannya.
“Bukan
apa-apa kok. Kantin yuk!” Alvin merangkul bahu gadis itu dan menuntunnya untuk
pergi. Untuk terakhir kali Alvin menengok ke belakang, menatap gadis yang sudah
sejak lama ia cintai.
Andai aku jatuh hati padamu,
Semua yang terjadi tidak akan
serumit ini,
Semuanya pun tak akan sesakit ini.
Sivia
tersenyum kecut saat melihat Alvin pergi dengan Ify. Sedari tadi ia tidak bisa
menyalin tugas dihadapannya karena laki-laki itu berdiri di depan pintu
kelasnya. Sivia sadar kalau semua ini terjadi karena kesalahannya. Ia terlambat
menyadari kalau dirinya mencintai Alvin.
“Sivia..”
terdengar panggilan dari depan. Sivia pun memandang laki-laki dihadapannya.
“Ada
apa Kka?” tanya Sivia.
“Ayo
ke kantin, aku udah lapar nih, nyalinnya lanjutin nanti aja.” Cakka mengajak
Sivia sambil menarik tangannya. Sivia sendiri hanya pasrah dan mengikutinya.
Sepanjang jalan ke kantin Sivia
sesekali mencuri pandang ke arah Cakka. Andaikan ia masih sanggup mengembangkan
rasa tertarik yang dulu ada untuk Cakka pasti semua akan lebih mudah. Lebih mudah
untuknya, karena sekarang Alvin sudah punya tambatan hati yang lain.
Kita mulai dipermainkan,
Saat kita terbiasa berjalan
sendiri,
Kita dipertemukan kembali.
Sivia memutar kepalanya untuk
mencari Cakka yang tadi sedang mencari tempat duduk kosong. Kepalanya berhenti
berputar saat dia menemukan sosok Cakka sedang berada bersama Alvin dan Ify. Sivia
menghela nafas panjang, mengumpulkan seluruh keberanian dan semangatnya untuk
menghampiri mereka.
“Kka
ini makananmu.” Alvin mendongak mendengar suara yang ia sangat kenal. Untuk beberapa
saat matanya bertemu dengan mata Sivia.
“Makasih
Via, duduk gih. Kita boleh nimbrung kok sama Alvin dan Ify.”
“Iya.”
balas Ify. Sivia mengangguk pelan. Mereka berempat pun kembali focus pada
makanan dihadapannya.
“Makan
Via jangan cuma diaduk.” Cakka menyenggol bahu Sivia sambil mengingatkan. Alvin
dan Ify pun kemudian ikut menatap Sivia.
“Gak
selera makan nih, masih mikirin tugas bahasa Jepang yang belum selesai.”
“Makan
dulu, tugasnya dipikirin nanti.” Alvin membuka suara, Sivia hanya mengangguk
dan mulai makan. Di samping mereka Ify dan Cakka tersenyum kecut. Mereka tau.
Mungkin jalan kita tak lebih dari
sahabat masa kecil,
Atau mungkin waktu kita telah terhenti
di saat itu.
Sivia duduk terdiam di perpustakaan
sekolahnya. Ingatannya berputar saat semua masalah ini bermulai. Alvin dan
Sivia sedang berjalan-jalan di salah satu taman. Keduanya banyak berbicara
bahkan terkadang mereka bertengkar kecil. Mereka terlihat sangat nyaman satu
sama lain. Keduanya terus berjalan dengan riang sampai dimana mereka menemukan
sebuah ayunan tua.
“Duduk
Vi, aku mau ngomong sesuatu.” Alvin meminta Sivia duduk sambil menunjuk sebuah
ayunan tua di depan mereka. Sivia pun hanya mengikuti perintah Alvin.
“Aku
udah lama sayang sama kamu.” ungkap Alvin. Sivia yang mendengar pernyataan
cinta tiba-tiba itu hanya terdiam di depan Alvin yang kini menatap dirinya.
“Jangan
bercanda Vin.” Sivia tertawa kaku sambil memukul pundak Alvin.
“Aku
serius.” jawab Alvin dengan tegas.
“Tapi
kita sahabat, aku juga lagi deket sama Cakka.”
Sivia
mengalihkankan pandangannya dari tatapan Alvin. Sivia jelas tau kalau Alvin
serius. Tapi mau bagaimana lagi sekarang ini ia sedang dekat dengan sahabat Alvin
selain itu salah satu sahabatnya pun menyukai Alvin.
“Ayo
kita pulang. Ku anggap kata-kata sore ini tidak pernah ada.” Sivia mengucapkan
hal itu dengan berat. Ditambah dengan raut kecewa yang terlukis jelas di wajah
Alvin.
Orang yang kita sukai itu,
Bukan orang yang akan kita temukan
dengan memaksakan diri mencarinya,
Tapi dia adalah orang yang tanpa
kita sadari,
Telah memiliki arti besar dalam
hidup kita.
Sivia termenung di atas tempat
tidurnya. Ia kembali memikirkan masalah yang membuat dirinya dan Alvin menjadi
jauh. Ia menyesal kenapa ia begitu terlambat menyadari isi hatinya. Kenapa dia
harus mencari Cakka kalau ternyata hidupnya tidak pernah bisa jauh dari Alvin.
Tapi Tuhan memang adil sesaat setelah ia melukai hati Alvin, Alvin dan Ify
jadian di depan matanya.
Saat itu Ify mengerahkan seluruh
keberaniannya untuk mengungkapkan perasaannya. Ify juga mengajak Sivia untuk
ikut menemaninya. Disana Sivia melihat raut wajah Alvin yang tanpa ada keraguan
menerima cinta Ify.
Beberapa saat setelah kejadian itu
Sivia mulai menyadari perasaannya. Dulu Alvin selalu ada disisinya dan hal itu
membuatnya terbiasa. Sekarang Alvin selalu berada disamping Ify dan itu
menganggunya, membuatnya kehilangan sebagian dirinya. Dan akhirnya dia baru
menyadari arti kalimat yang sering Alvin ucapkan padanya.
“Via,
orang yang kita sukai itu bukan orang yang harus kita paksa untuk kita cari
tapi orang yang kita sukai adalah orang yang tanpa kita sadari punya arti besar
dalam hidup kita. Ingat yaa.”
Sivia terdiam seandainya saja ia
lebih cepat mengerti kata-kata Alvin. Orang yang dia cintai bukan Cakka yang
baru ia kenal saat SMA. Bukan Cakka, laki-laki yang menurutnya begitu sempurna
dan sangat pantas untuk dia cintai. Tetapi Alvin, sahabatnya dari kecil.
Laki-laki yang selama ini selalu ada disisinya saat ia dihukum membersihkan
toilet, setiap malam pukul 24.00 saat dia ulang tahun, dan laki-laki yang
selalu memegangi tangannya saat ia kehilangan orang tua yang meninggal
tiba-tiba. Sivia sudah tidak mampu lagi membendung air mata itu. Ia terlambat
dan tak mungkin kembali ke masa lalu lagi.
Semua yang telah terlewati tak
dapat terulang kembali,
Semua yang telah terjadi tidak
dapat terhapus begitu saja.
Sivia berdiri terpaku saat melihat
papan pengumuman. Beberapa orang terlihat berseru senang ketika melihat namanya
tercatat disana. Beberapa dari mereka mulai saling berpelukan. Sivia juga sama,
sedari tadi banyak anak yang bersalaman dengannya sembari mengucapkan selamat.
“Sivia
selamat ya.”
“Sivia
kita lolos beasiswa ke Jepang.” seru Shilla salah seorang sahabatnya.
Sivia tersenyum pahit. Mungkin ini
jawaban Tuhan. Dia memang harus berpisah dengan Alvin dan keluarganya. Memang
sejak orang tuanya meninggal Sivia yang anak tunggal tinggal bersama Alvin dan
orang tuanya karena banyak dari saudara Sivia yang tinggal di Padang sedangkan
dia masih ingin meneruskan sekolah di Bandung.
“Iya,
ayo kita siap-siap shil.” Shilla yang begitu bahagia langsung memeluk erat
Sivia.
“Dengan
ini mungkin kamu bisa bahagia.” Sivia menangis mendengar ucapan Shilla.
“Benar,
mungkin dengan ini dia bisa berjalan ke depan.”
Dari kejauhan Alvin melihat
keramaian di depan papan pengumuman. Ia telah melihat hasil pengumuman siswa
yang lolos beasiswa ke Jepang itu dari tadi. Dan dia benar-benar terpukul
telak. Sivia lolos, dan itu tandanya mereka harus benar-benar berpisah.
Alvin menatap Ify yang sedang
mengobrol dengan temannya di koridor sekolah. Salah satu kesalahannya adalah
menerima Ify. Ia tidak pernah mencintai Ify. Ia hanya terbawa emosi karena
Sivia ikut menemani Ify mengungkapkan cinta padanya padahal kejadian itu hanya
berselang beberapa hari setelah ia ditolak Sivia. Ia menyesal karena tidak
mencoba mengejar Sivia. Ia menyesal karena ke depannya ia tau kalau ia hanya
akan melukai hati Ify.
Jalan berputar,
Aku mencintaimu tapi kau pernah tak
tau
Sivia sedang sibuk membereskan
pakaiannya saat Alvin masuk ke kamarnya. Sivia yang melihat Alvin masuk pun
menepuk bangku di meja belajarnya.
“Ada
apa? Udah lama kita gak ngobrol.”
“Kamu
benar-benar mau ambil beasiswa itu?” Sivia mengangguk pasti menjawab pertanyaan
Alvin.
“Apa
karena kamu segan sama aku, mama, dan papa?” tanya Alvin. Sivia menggeleng
sebagai jawabannya.
“Bukan,
aku hanya merasa aku membutuhkan beasiswa ini untuk hidupku.” jawab Sivia.
“Untuk
menatap hidupku kembali.” tambahnya dalam hati.
“Bukan
karena kondisi kita yang seperti ini kan.” Sivia tersenyum kecut mendengar
pertanyaan Alvin. Jawaban yang Sivia
berikan pun hanya berupa gelengan kepala.
“Walau
apapun yang terjadi kita tetap sahabat kan.” ungkap Sivia. Bulir air mata mulai
menetes membasahi pipi Sivia. Alvin pun bergerak ke depan dan merangkul tubuh
Sivia.
“Aku
mencintaimu…” ungkap keduanya dalam hati.
Mengucapkan selamat tinggal bukan
berarti memutus tali yang mengikat kita
Mengucapkan selamat tinggal bisa
berarti menyiapkan diri kita untuk bertemu kembali
Bertemu dan memulai lagi segalanya
tentang kita
Pagi ini Alvin terbangun dengan
pundak yang berat. Ia melihat Sivia masih tertidur dalam posisi duduk
disebelahnya. Semalam mereka mengenang semua hal yang mereka lakukan selama
ini. Pada akhirnya mereka sadar bahwa selama ini diantara keduanya tidak ada
satu pun kenangan yang tidak menyertakan masing-masing.
Saat Alvin kalah di final
pertandingan basket antar SMA di Bandung, Sivia ada disampingnya. Saat Sivia
dihukum membersihkan toilet karena lupa mengerjakan PR Alvin diam-diam
membantunya. Saat kedua orang tua Sivia meninggal karena kecelakaan Alvin
selalu disampingnya bahkan tak membiarkannya sendirian. Tidak ada satu kenangan
pun yang mereka lewati sendirian.
Alvin menatap jam dinding di kamar
Sivia sekarang jam 7 pagi dan pesawat Sivia berangkat pukul 9.30 pagi. Rasanya
Alvin tidak ingin membangunkan Sivia agar dia tetap bisa berada disini dan
selalu berada di jangkauan matanya. Tapi ingatan pada saat Sivia menangis bahagia
di pelukan Shilla di depan papan pengumuman cukup mengganggunya.
“Via
bangun udah jam 7.” Alvin menggocangkan tubuh Sivia.
“Waaaaa,
Alvin aku ketinggalan pesawat nih.” Sivia berteriak keras sambil berlari menuju
ke kamar mandi.
“Selamat
jalan Via. Aku akan selalu mencintaimu.” Alvin memandang penuh kasih sayang
pintu kamar mandi yang tertutup rapat.
Jalan memutar yang kita lalui
Akan tetap membawa kita kembali ke
awal lagi
Karena kita saling mencintai
Alvin sedang berdiri di salah satu
sudut bandara saat seorang gadis menepuk bahunya. Gadis di depannya tersenyum
manis. Dua tahun ini tidak merubah banyak hal diri gadis itu.
“Selamat
datang Sivia..”
“Aku
pulang.” Sivia tersenyum pada Alvin dan memeluknya dengan erat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar