Jumat, 24 Februari 2012

Lihat Lebih Dekat Part 15 ( Akhir bahagia ?? )


Lihat Lebih Dekat Part 15
~ Akhir bahagia ?? ~

“ Shill..” suara khas Alvin mengalihkan perhatian Shilla yang sedang berkemas dibantu oleh seorang suster.

“ Saya permisi dulu.” Pamit suster itu.

“ Boleh aku bicara ?” Kali ini Alvin menunjukkan raut yang cukup serius.  

“ Kenapa harus minta ijin sih. Ayo bicara saja.” Shilla tersenyum , tangannya menepuk-nepuk tempat tidurnya. Alvin pun segera duduk disebelah Shilla.

“ Kamu sudah mengerti kan ?” tanya Alvin, Shilla hanya menggeleng.

“ Apa maksudmu ?”

“ Kamu pasti sadar siapa yang benar-benar kamu suka dan siapa yang benar-benar menyukaimu.” kata Alvin, matanya menatap mata Shilla dalam.

“ Kamu Vin, yang aku suka itu kamu. Bukan yang lain.” jawab Shilla saat itu.

“ Dasar bodoh ! Aku itu hanya sekedar obsesi kamu bukan cinta kamu. Dan apa kamu belum sadar, selama ini ada seseorang yang selalu ada dan benar-benar ada buat kamu.” Shilla terdiam mendengar penuturan Alvin.

                Kini pikirannya melayang ke sosok laki-laki yang selalu bersamanya, Cakka. Shilla ingat, sejak dia kecil Cakka selalu melindunginya. Saat boneka kesayangannya diambil oleh sekumpulan anak-anak nakal, Cakka berusaha merebutnya. Bahkan Cakka sampai terluka, dan saat itu datang Alvin yang berhasil mengusir anak-anak nakal tadi. Mungkin dari sanalah Alvin menjadi obsesinya.

                Saat dia SMP, dia dijauhi semua murid perempuan dikelasnya karena dia cantik. Alasan yang benar-benar konyol. Tapi Cakka selalu ada dan mendukungnya. Saat ia menangis karena mendengar gunjingan teman-teman perempuannya, Cakka menutup telinganya memberikan semua kekuatan padanya. Dan oleh Cakka pula ia dikenalkan pada Zahra dan Keke, sahabat barunya.

                Shilla ingat, ia selalu bercerita tentang rasa sukanya pada Alvin ke Cakka, bukan Zahra ataupun  Keke. Saat Keke jadian dengan Alvin, Cakka menguatkannya. Memberinya semangat, dan yang paling berharga, saat kecelakaan kemarin Cakka selalu merawatnya, menemaninya, dan pada satu malam ia mendengar panjatan doa tulus dari Cakka untuk kesehatannya, kesembuhannya.

“ Tuhan apakah selama ini aku salah..”

“ Ya.. Cakka adalah orang yang kamu cintai. Orang yang selama ini ada untukmu.” tutur Alvin saat melihat air mata mengalir melalui pipi Shilla.

“ Aku sadar Vin. Dan kali ini aku tidak akan mengecewakannya lagi.” kata Shilla sambil menyeka air matanya.

“ Ini baru Shilla, sahabatku tersayang.” Alvin mengusap pelan puncak kepala Shilla. Mereka berdua kini tersenyum dan berpandangan.

“ Kamu juga harus kejar cintamu.” kata Shilla, Alvin mengangguk mantap.

><><><><><><><>< 

                Alvin, Chris, Rio, Gabriel, dan Ify sedang menunggu Sivia sadar dari tidur panjangnya. Kabar dari dokter tadi benar-benar membuat pikiran mereka terang. Walau begitu Sivia belum juga menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan sadar.

“ Tookk..tookkk..” suara ketukan pintu mengalihkan perhatian mereka dari Sivia. Dengan malas Ify berjalan menuju pintu kamar tempat Sivia dirawat.

“ Untuk apa kalian disini ?” tanya Ify dingin saat melihat Cakka, Zahra, dan Shilla berada di depan pintu.

“ Tidak bolehkah kami menjenguk teman sekelas kami ?” tanya Shilla sopan.

“ Masuklah..” kata Rio sambil tersenyum.  Shilla tersenyum, Ify pun meninggalkan ketiga orang itu.

Pelan Zahra mendorong kursi roda Shilla menuju tempat dimana orang-orang itu menunggu Sivia sadar. Sedang Cakka mengikuti dibelakang mereka dengan senyum yang terukir jelas di wajahnya. Mungkin Shilla sudah memperjelas semuanya. Mengungkapkan sebuah kejujuran yang terselimuti sebuah obsesi.

“ Sivia belum sadar ?” tanya Shilla pelan, Rio hanya menggeleng pasrah.

“ Mungkin sebentar lagi.” Tepat saat itu, gerakkan kelopak mata dan jemari Sivia membuat mereka kembali fokus memandang Sivia. Berharap gadis itu bangun dari tidur panjangnya.

Tak lama mereka mengukir senyum, ketika mata Sivia mulai perlahan terbuka. Harapan-harapan baru pun muncul dibenak mereka.

“ Kak Rio..” lirih Sivia.

“ Kakak disini Siv, kakak seneng banget kamu udah sadar. Terima kasih udah ngasih kesempatan buat kakak ngejaga kamu lebih lama. Makasih..” Dengan cepat Rio mendekat ke arah Sivia. Menggenggam lembut tangan adik tersayangnya itu.

“ Sudah berapa lama Sivia tidur ?” tanya Sivia masih dengan suaranya yang lemah.

“ 5 hari..” balas Rio, kali ini Sivia membelalakkan matanya.

“ Mama Papa ?” tanya Sivia cepat.

“ Mereka gak tau.” Rio menghela nafas beratnya, sedang Sivia menghembuskan nafas leganya.

“ Lebih baik begini, aku tidak ingin mengganggu proses perceraian mereka.” Tiba-tiba tangis Sivia pecah, ia sama sekali belum pernah merasakan hangatnya kasih sayang kedua orang tuanya.

“ Kak Rio..”

“Sivia capek.” keluh Sivia, semakin lama semakin banyak air mata yang mengalir.

“ Kamu gak boleh bilang begitu. Kakak sayang sama kamu.”

“ Kakak butuh kamu…”

“ Siv, kami selalu ada untukmu. Akan selalu.” secara tiba-tiba Gabriel dan Ify menggenggam tangan Sivia. Mereka saling berpandangan dan menguatkan. Sivia pun tersenyum, membiarkan tangan kakaknya menghapus air matanya.

><><><><><><><>< 

                Sivia sedang asyik melukis saat suara ketukan pintu sukses membuat dirinya terkejut. Segera ia meringkas kanvas dan semua alat lukisnya. Dengan sedikit dorongan ia memasukkan semua alat-alat lukis itu ke kolong tempat tidurnya. Dan saat dirasa semuanya beres, ia pun membalas ketukan itu.

“ Masuk..” balasnya pelan namun cukup terdengar.

                Seorang laki-laki seumurnya segera masuk. Sivia tersenyum ringan, hal yang belum pernah ia tunjukkan pada semua orang selain kedua sahabatnya dan kakaknya. Dilihatnya tangan laki-laki itu, disana ada satu buket mawar putih kesukaannya.

“ Udah sehat ?” tanya laki-laki itu.

“ Dan terima kasih telah menolongku waktu itu.” lanjut laki-laki itu.

“ Sama-sama Chris, dan apakah karena aku menolongmu kamu tidak jadi melaksanakan aksi balas dendammu pada Alvin menggunakan aku ?” pertanyaan Sivia sukses membuat Chris bungkam. Darimana gadis ini bisa tau rencananya, bahkan ia sama sekali tidak menunjukkan raut wajah marah.

“ Kamu pasti bingung, darimana aku tau semua ini ?” Chris hanya mengangguk setuju.

“ Mudah kok. Aku sudah cukup lama hidup di dunia ini, dan diwaktuku itu aku belajar memahami sifat manusia. Termasuk kamu.”

“ Aku pun tau kalau Alvin suka sama aku, dan kamu mau buat aku suka sama kamu. Itu semua untuk membuat Alvin kecewa. Benarkan ?” Sivia hanya tersenyum perlahan, sementara Chris tertunduk dalam, rasa malu dan bersalah kini menyelimuti dirinya.

“ Sudahlah, toh itu gak penting. Aku tau, hidupku tak akan lama lagi.” Sivia tersenyum pahit, ia memutar tubuhnya membelakangi Chris. Membiarkan rasa dingin perlahan memasuki dadanya.

“ Kamu harus bertahan !!” kata Alvin yang baru saja datang. Sivia terhenyak, segera ia putar tubuhnya menghadap Alvin yang kini sudah berdiri tegap di sampingnya.

“ Dan aku tidak menyangka kau serendah itu Christoffer.” sindir Alvin pada Chris.

“ Yang menjadikan aku rendah adalah ayahmu, Alvin Adhika.” kata Chris dengan kasar, merasa tidak terima, Alvin mencengkram keras kemeja Chris.

“ Jangan bawa-bawa ayahku. Banci !!” umpat Alvin.

“ Jadi sampai sekarang kamu tidak sadar ? Kamu tidak tau ? Mobil yang menabrak Keke adalah mobil salah satu anak buah ayahmu. Aku mengatakan ini dengan segudang bukti. Bukan hanya omong kosong. Maka dari itu aku membencimu. Aku benci kamu yang begitu bodoh.” Alvin melepas cengkramannya pada kemeja Chris, tubuhnya terasa lemas seketika. Kini ia terduduk di lantai.

“ Kalian berdua bodoh ya !!” perkataan Sivia yang tiba-tiba menghentikan suasana aneh antara Chris dan Alvin.

“ Apa maksudmu ?” tanya Chris tak mengerti, emosinya masih begitu tinggi.

“ Chris, yang kamu benci itu adalah kamu yang tidak bisa melindungi Keke bukan Alvin atau ayahnya. Dan Alvin aku tidak mengerti, kenapa kamu terlalu naïf. Terlalu naïf untuk mengerti perasaan sahabatmu yang begitu mencintai orang yang juga kamu cintai. Dan seandainya saat itu kamu mau mempertahankan Keke semuanya tidak akan serumit ini.”

“ Tapi Keke yang nolak aku. Dia gak mau aku jadi pacarnya, melindunginya.”

“ Nah itu yang membuat kamu begitu bodoh.”

“ Apa maksudmu ??”

“ Sudahlah, selesaikan masalah kalian diluar. Aku sedang sakit. Dan tidak berminat, mendengar obrolan semacam ini.” Sivia kembali berbaring dan menutupi dirinya dengan selimut. Chris dan Alvin pun berjalan keluar dengan pasrah.
               
                Dan kini waktunya mereka menyelesaikan masalah mereka. Dengan kepala dingin dan bijaksana. Dan dengan segala keterbukaan hati.

><><><><><><><>< 

                Sivia akan mendorong kursi rodanya ke arah taman saat sebuah tangan memegang tangannya. Sivia membalikkan tubuhnya dan menatap laki-laki itu.

“ Alvin…” panggil Sivia.

“ Mau kemana ? Aku antar ?” Sivia mengangguk, dan Alvin tersenyum.

“ Taman…”

                Kedua orang itu berkeliling disekitar taman. Mereka sama sekali tidak berbicara. Mungkin masih sama-sama canggung.

“ Istirahat Vin.” pinta Sivia.

                Alvin mengangguk pelan dan membawa Sivia ke sebuah kursi taman. Disana Alvin membantu Sivia untuk duduk.

“ Jaga semuanya Vin..” kata Sivia tiba-tiba. Sementara Alvin memandang Sivia tidak mengerti.

“ Aku titip kak Rio, titip Ify, Gabriel, dan Acha. Aku sayang banget sama Acha.” Sivia berkata seperti itu seraya tersenyum.

“ Kamu apa-apaan sih Vi ?” tergambar jelas raut wajah tidak suka dari Alvin. Perkataan Sivia barusan tidak bisa ia terima dengan hatinya.

“ Dan aku titip hatiku ke kamu. Aku suka sama kamu.” Kali ini Alvin tertegun, menatap Sivia. Mencari kebenaran dalam kata-kata gadis dihadapannya itu.

“ Aku juga suka kamu..” balas Alvin yakin, Sivia tersenyum.

“ Aku tau..” perlahan Sivia menyandarkan kepalanya di bahu Alvin.

“ Tapi aku akan pergi. Untuk selamanya.” Saat Alvin akan membuka mulutnya untuk mengeluarkan kata-kata protes dengan cepat jemari Sivia membungkamnya.

“ Jangan dipotong dulu, mungkin ini kata-kata terakhirku.” ucap Sivia lagi.

“ Vin kamu suka fotografi kan ? Nanti kalau kamu ngadain pameran buat hasil pembekuan kenangan milik kamu itu. Tolong sertain juga lukisan-lukisan jelekku.” Kali ini Sivia menangis, pelan tangan Sivia bergerak untuk memeluk tubuh Alvin. Sementara Alvin tetap diam. Hatinya benar-benar terkoyak mendengar kata-kata Sivia barusan.

“ Lukisan itu mencerminkan semua harapanku. Dan kehidupanku.”

“ Dan buat kamu, jaga diri baik-baik. Mulailah hubungan baik dengan Chris, kalian adalah sahabat.”

“ Sahabat..”

“ Aku bisa bertahan sampai disini pun karena sahabatku dan kakakku. Kak Rio, Gabriel, dan Ify.”

“ Dan Alvin, aku ucapkan terima kasih. Kamu membuat hidupku berwarna. Kamu satu-satunya orang, yang berani padaku. Mengejekku bahkan mengajakku balapan. Itu menyenangkan.” Alvin melihat Sivia tersenyum lebar dalam dekapannya.

“ Siviaa…”

“ Kali ini giliranmu bicara.” Sivia mengurai pelukannya dan kembali menyandarkan kepalanya ke bahu Alvin.

“ Sivia, disini, aku bicara kalau aku butuh kamu. Jangan tinggalkan aku. Lagipula ada kak Rio, Ify, Gabriel, Acha, aku dan masih banyak lagi orang yang sayang padamu. Jangan pernah tinggalkan kami.” tutur Alvin lirih, Sivia tersenyum masam.

“ Tolong jangan meminta hal yang mustahil kepadaku.” Terlihat Sivia sedang menyeka air matanya.

“ Aku tetap harus pergi..”

“ Walau aku tidak ingin pergi..”

“ Boleh aku minta satu permintaan lagi ?” Alvin terdiam, tidak mengangguk atau menggeleng.

“ Bilang ke papa dan mamaku, aku mencintai mereka. Aku tau, aku tidak berarti untuk mereka. Aku hanya seorang anak yang mungkin tidak mereka butuhkan bahkan tidak mereka inginkan. Merasakan pelukan mereka pun aku tak pernah. Hanya suara ribut yang setiap harinya aku dengar dari mereka. Aku mau dipeluk Vin.” Sivia menyeka bulir air mata yang mulai turun.

“ Tapi walau begitu, aku mencintai mereka. Dan cinta ini akan tetap sama sampai kapan pun.”

“ Capekk Vin..” keluh Sivia tiba-tiba, terlihat Sivia menepuk-nepuk dadanya. Rasa sesak mulai memenuhi rongga dadanya. Alvin mulai memandang Sivia khawatir, wajah Sivia kali ini benar-benar pucat.

“ Balik ke kamar rawat yuk.” ajak Alvin, Sivia menggeleng. Wajahnya makin terlihat pucat.

“ Sini dehh..” gerakan tangan Sivia membuat Alvin mendekatkan wajahnya ke arah Sivia.

Pelan dirasakan oleh Alvin tangan dingin Sivia menyentuh kedua pipinya. Tangan itu membawanya, dan sekarang keningnya tepat di depan bibir Sivia. Dan kali ini Alvin merasakan ada sesuatu dingin menyentuh keningnya. Yap, Sivia mencium lama keningnya.

“ Aku sayang padamu Alvin Adhika…” ucapnya lirih.

“ Sedangkan aku mencintaimu Sivia Imelda..”

                Sekilas Alvin melihat seulas senyum terkembang dari bibir Sivia. Tapi sedetik kemudian ia melihat air mata mengalir di pipi gadis itu, bersamaan dengan itu terdengar deru nafas yang cukup panjang. Dan kini air mata turun dari mata Alvin.

“ Kamu begitu banyak meminta padaku, sedangkan aku…”

“ Tidak bolehkah aku memintamu untuk tetap disisiku.”

“ Aku masih ingin menjagamu, Sivia.”

Alvin menangis dalam diamnya, ia merasakan tubuh Sivia semakin merosot ke bawah. Air matanya semakin banyak keluar, inilah kali keduanya ia menangis seperti ini. Tapi sesak yang ia rasakan benar-benar berbeda dari yang dulu. Rasanya jauh lebih sakit.


*****


***Makasih udah mau baca***
***Dan mohon tinggalkan jejak bagi yang udah baca***




_mei_




Destiny, You and Me Part 6 ( Hujan dan Cinta )


Destiny, You and Me Part 6
~ Hujan dan Cinta ~

“ Baiklah kelompok 10 terdiri dari Alvin Jonathan, Ashilla Zahrantiara, Cakka Kawekas, Nur Wahid Hidayat, Oik Cahya, Sivia Azizah.” Semua orang yang baru saja disebutkan dalam kelompok itu langsung membelalakkan mata mereka.

“ Sekarang semua anggota kelompok berkumpul jadi satu dan segera tentukan ketua kelompoknya. Satu lagi tidak ada pertukaran anggota kelompok.” kata sang pemandu tegas ketika melihat banyak anak yang mengangkat tangan mereka dan berwajah tidak senang.

“ Kenapa harus sekelompok sama kamu !” kata Alvin tiba-tiba. Cakka yang sedari tadi berbincang dengan Sivia pun memelototi Alvin.

“ Idihhh.. kamu pikir aku mau satu kelompok sama kamu. Gak banget !” balas Cakka.

“ Dasar Jelek.” ejek Alvin.

“ Mata kamu burem ya ? Orang cakep gini dibiliang jelek. Dasar cowok merem !” balas Cakka.

“ Jelek !”

“ Merem !”

“ Jelek !”

“ Merem !”

“ Diam kalian berdua !” tegur Dayat yang sedari tadi hanya diam.

“ Ini siapa yang bakal jadi ketua kelompoknya ?” tanya Dayat.

“ Aku..” kata Alvin dan Cakka bersamaan. Mereka pun saling berpandangan.

“ Aku aja..” kata mereka berdua lagi.

“ Jangan kalian berdua  ! Dayat aja.” kata Shilla, Oik, dan Sivia bersamaan.

                Sivia, Oik, dan Shilla pun saling berpandangan. Sivia pun melemparkan senyumnya pada Shilla dan Oik. Tapi sayang Shilla malah membuang muka sedang Oik hanya menundukkan kepalanya.

Sivia sendiri hanya menghela nafas, ia sedikit tau kenapa orang-orang itu bersikap begitu padanya. Ia banyak mendengar kisah-kisah BLINK dari Ify dan Pricilla.

                Dayat tersenyum puas dan segera menemui pemandu untuk acara jalan-jalan di hutan dan mengambil peta rute hutan yang akan mereka masuki dan mendengarkan petunjuk dari sang pemandu.

“ Eh, Via tambah cantik aja.” gombal Alvin, Sivia sendiri hanya tersenyum singkat.

“ Apa deh Vin. Gak berubah kamu, masih aja suka gombal. Padahal tampang cool gitu.” balas Sivia.

“ Udah deh Via, jangan di dengerin. Sini sama aku aja.” dengan cepat Cakka segera merangkul bahu Sivia agar lebih dekat padanya.

“ Apasih ? Dasar Cicak.” Kini giliran Alvin yang menarik tangan Sivia menjauh dari Cakka.

“ Kangen Vi sama kamu..” dengan gemasnya Alvin mencubit hidung Sivia.

“ Alvinnn.. sakitt..” Sivia mencoba menjauhkan tangan Alvin dari hidung.

“ Plaaakkk…” dengan kasar Cakka memukul tangan Alvin yang berada di hidung Sivia.

“ Gak apa-apa kan vi ?” tanya Cakka, Sivia hanya mengangguk. Sebentar Cakka memperhatikan wajah Sivia.

“ Kamu gak pa-pa ? Wajah kamu kelihatan pucat ?” tangan Cakka kini memegang lembut pipi Sivia, hal itu membuat Oik memalingkan wajahnya. Shilla sendiri menatap Sivia dengan pandangan kesal.

  Gak pa-pa kok. Tenang aja.” Sivia menurunkan tangan Cakka dan segera memalingkan wajahnya.

“ Heii.. Ayo jalan !” ajak Dayat yang baru saja datang.

><><><><><><>< 

                Mereka berenam telah berkeliling ke sekitar hutan, tapi masih kurang 2 bendera lagi agar kelompok mereka bisa menang.

“ Istirahat bentar yuk.” ajak Oik. Cakka, Dayat, dan Alvin yang sedari tadi bersemangat berjalan pun mulai mengalihkan perhatian pada ketiga gadis yang kini terduduk lemas di atas tanah.

“ Ya udah istirahat bentar.” kata Dayat.

“ Vi, kamu kenapa ?” tanya Cakka saat melihat Sivia yang sedari tadi memegangi pergelangan kakinya.

“ Gak pa-pa kok.” Sivia hanya menggelengkan kepalanya tanpa menghadap ke depan.

“ Carmuk lagi dehhh !” kata Shilla pelan saat melihat para laki-laki berkumpul di sekeliling Sivia.

“ Mungkin sakit beneran Shil. Lihat dia udah meringis gitu.” kata Oik pelan, dia pun ikut berjalan ke tempat Sivia duduk.

“ Kamu mau posisi kamu diambil dia.” kata shilla tegas, Oik pun langsung terpaku di tempatnya.

“ Aku dengar kemarin manajemen manggil dia. Aku gak mau jauh sama kamu, Ik.” tutur Shilla.

“ Mungkin bukan cuma posisi aku tapi cowok yang aku sukai juga.” lirih Oik setelah melihat ke arah Sivia dan yang lainnya, Shilla hanya menggeleng.

“ Dia takkan mendapat apa-apa.” Tangan Shilla merangkul perlahan bahu Oik, mencoba memberikan kekuatan pada sahabat dekatnya ini.

                Sementara disana, Cakka perlahan-lahan membuka sepatu Sivia. Ia tidak ingin menyakiti kaki Sivia yang memang sudah sakit. Sivia sendiri terus menunduk, tidak mau memperlihatkan wajahnya sedikit pun.

“ Ya ampun, ini udah parah Via. Lihat bengkaknya udah sampai biru gini. Kenapa kamu gak bilang ? Ini karena jatuh di sungai tadi ?” tanya Cakka bertubi-tubi. Sivia sendiri tetap diam.

“ Emang gak sakit Vi ?” tanya Alvin sambil menyentuh kaki Sivia.

“ Aaaaaaa…. Sakit.” jerit Sivia saat tangan Alvin menyentuh kakinya, dengan cepat Cakka menyingkirkan tangan Alvin.

“ Dasar bodoh.” omel Cakka.

“ Maf.. maaf.. maaf.” sesal Alvin.

“ Kenapa kamu dari tadi terus menunduk ?” tanya Dayat yang sedari tadi diam saja. Pelan tangan Dayat pun mengangkat dagu Sivia.

“ Ya ampun Vi, kamu pucat banget.” panik Dayat.

“ Aku gak papa kok.” kata Sivia sambil menepis pelan tangan dayat.

“ Kalian ada yang bawa perban ?” tanya Dayat, semua hanya menggeleng.

“ Kalau handuk dan gunting ada yang bawa ?” tanya Dayat lagi, buru-buru Alvin dan Cakka menggeledah tas mereka. Sementara Oik dan Shilla hanya diam toh mereka tak membawa semua yang dicari Dayat.

“ Aku handuk..”

“ Aku gunting..”

                Cakka dan Alvin saling berpandangan sejenak ketika mereka tau kalau mereka sama-sama menyodorkan barang yang dicari Dayat.

“ aku duluan..” kata Cakka.

“ aku duluan bodoh..” keras Alvin.

“ aku..”

“ aku..”

“ Kalian berdua berisik ! Sini !” Dengan kasar Dayat segera mengambil handuk dan gunting dari tangan Cakka dan Alvin.

                Dengan telaten Dayat memotong handuk itu. Yang lain hanya menatap Dayat tak mengerti, apa Dayat mau main-main dalam kondisi Sivia yang seperti sekarang ? Entahlah !

                Akhirnya Dayat pun berhenti memotong handuk itu. Kini semua mulai mengerti ketika Dayat membalutkan potongan handuk itu dengan rapi ke kaki Sivia. Dayat sengaja memotong handuk itu menjadi lembaran panjang yang ia buat seperti perban.

“ Terima kasih Day.” ucap Sivia sembari tersenyum.

“ Ucapan buat aku mana ?” Cakka dan Alvin saling berpandangan tidak suka. Mereka mengucapkan hal yang sama dalam waktu bersamaan.

“ aku kan yang bawa handuk..” kata Cakka pada Alvin.

“ Aku bawa gunting..” kata Alvin pada Cakka.

“ Lebih guna aku !” kata mereka berdua bersamaan.

 “ Udahh, kalian berdua berjasa dan saling melengkapi. Makasih banyak yaaa..” Cakka dan Alvin saling berpandangan malu mendengar ucapan Sivia serta senyum Sivia.

“ Jangan senang dulu, rasa sakit di kakimu itu hanya akan hilang sebentar. Jadi mari kita balik ke tenda saja. Mengobati kakimu jauh lebih penting.” kata Dayat, Cakka dan Alvin mengangguk setuju.

“ Ehh, tapi kita tinggal sedikit lagi.” cegah Shilla sementara Oik mengangguk setuju.

“ Tapi kasihan Sivia.” kata Cakka.

“ Ehh, aku gak pa-pa kok. Kalian cari saja dan aku menunggu disini.”

“ Kalau gitu aku temenin.” Alvin langsung mengambil posisi di sebelah Sivia.

“ Gak usah, kalau kalian selesai mengambil semua bendera, kembali kesini. Aku menunggu disini.” Sivia mendorong pelan tubuh Alvin yang duduk disampingnya. Kemudian dipandangnya teman-temannya secara bergantian sambil tersenyum dan mengangguk.

><><><><><><><>< 

“ Sial !! Kenapa aku bisa kepisah sama kelompok aku.” gerutu seorang cowok.

“ Ify…”

“ Kanya..”

“ Chris..”

“ Prissy…”

“ Sion…”

                Laki-laki itu terus berjalan mencari teman-temannya, sampai ia merasakan titik-titik hujan yang mulai menjatuhi tubuhnya.

“ Aduhh.. mana hujan lagi.” keluhnya. Mata laki-laki itu segera berputar dan mencari tempat berteduh sebelum hujannya benar-benar bertambah deras.

“ Ahh.. itu disana.” Laki-laki itu segera berjalan ke arah gubuk kecil sebelum hujan bertambah lebat.

><><><><><><>< 

“ Aduhh hujan..” keluh Sivia.

 Sekarang Sivia masih berada di bawah pohon tempat ia beristirahat tadi. Perlahan Sivia berdiri dengan berpegangan pada pohon dibelakangnya.

“ Sakit..” lirihnya.

                Hujan pun kini bertambah lebat. Sivia tetap berjalan perlahan, kedinginan pasti ! Tapi mau bagaimana lagi untuk berjalan saja kakinya terasa sangat sakit apalagi untuk berlari. Sivia sedikit menambah kecepatannya ketika melihat ada gubuk kecil disana.

><><><><><><>< 

                Laki-laki yang sedari tadi berteduh sambil menatap titik hujan pun kini mengalihkan pandangan pada seorang gadis yang berjalan ke arahnya. Dan tepat di hadapannya gadis itu terhuyung lemas, tak tinggal diam laki-laki itu segera menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh ke atas tanah.

“ Sivia, kamu kenapa ? Kenapa bisa basah kuyub seperti ini ?” tanya laki-laki itu.

“ Gabriel…” lirih Sivia. Tanpa banyak bertanya lagi Gabriel membantu Sivia untuk naik ke atas gubuk kecil itu.

                Gabriel memandang Sivia dari atas sampai bawah. Badan Sivia benar-benar kuyub oleh hujan. Terlihat Sivia yang menggigil kedinginan dan meringis kesakitan. Gabriel pun segera merangkak mendekat ke arah Sivia.

“ Keadaanmu sangat buruk. Kamu begitu pucat dan ini, kakimu kenapa ?” tanya Gabriel.

“ Terkilir..” jawab Sivia singkat. Kedua tangannya terus ia gosokkan untuk mencari kehangatan.

“ Lepas jaketmu.” suruh Gabriel. Sementara Sivia sendiri memandang Gabriel tak mengerti.

“ Udah lepas aja.” Sivia pun akhirnya menuruti perintah Gabriel, walau ia tak tau maksud Gabriel.

“ Untung baju kamu gak basah.” kata Gabriel saat melihat jaket Sivia sudah terlepas. Sivia masih terdiam bingung, tapi ia segera tau saat Gabriel melepas jaket yang ia pakai dan mengenakannya pada tubuhnya yang kedinginan.

“ Aku gak terlalu kedinginan. Buat kamu aja.” Gabriel hanya tersenyum, Sivia sendiri tidak membantah karena sekarang ia benar-benar kedinginan.

“ Aroma tubuh Gabriel. Lembut !!” batinnya saat menghirup dalam aroma jaket yang ia kenakan.

                Gabriel dan Sivia banyak bercerita sembari menunggu hujan reda. Dan kini hujan sudah reda.

“ Balik ke penginapan yuk.” ajak Gabriel pada Sivia. Sivia tetap terdiam, kakinya terasa semakin ngilu.

“ Aku disini dulu. Kakiku sakit sekali.”

“ Tapi semakin lama kamu disini, udara dingin akan semakin menyapamu.” Sivia hanya tersenyum.

“ Aku tau, tapi untuk menggerakkan kakiku pun aku gak bisa Gab. Kamu duluan aja.” tutur Sivia sambil memandangi lilitan handuk di kakinya.

                Tanpa diduga Gabriel berjongkok dihadapan Sivia.

“ Naik ! Aku akan menggendongmu sampai ke penginapan. Dan aku tidak menerima penolakan.” ucap Gabriel tegas. Sivia pun pasrah, Gabriel memang tipe keras kepala, seperti dirinya. Ia pun segera naik ke punggung Gabriel.

“ Mari pulang !!” teriak Gabriel semangat.

“ Dasar bocah..” ledek Sivia sambil membenarkan letak tangannya yang kini melingkar di leher Gabriel.

“ Tapi terima kasih..” sambil mengucapkan terima kasih, Sivia memberikan ciuman di pipi Gabriel. Dan tepat setelah itu, rona merah bergerak cepat menjalar di wajah mereka berdua.

*******

***makasih udah mau baca***
***tinggalkan jejak bagi yang udah baca***



_mei_