Jumat, 18 Mei 2012

Tentang Kisah [3]


Tentang Kisah [3]

                Rio memandang dengan semangat rumah di depannya. Rumah yang cukup besar tapi terlihat begitu sepi. Dengan semangat yang masih berkobar Rio mengetuk pintu rumah itu. Rasanya tidak sabar menunggu gadis yang ia sukai membukakan pintu.

Tidak perlu menunggu lama, pintu rumah itu terbuka perlahan. Rio yang awalnya sudah mempersiapkan senyum termanisnya dan godaan untuk gadis itu,  hanya bisa ternganga.  Rio memandang aneh dan tidak suka pada laki-laki yang berada dihadapannya. Bukan hanya Rio, ekspresi serupa juga ditunjukkan laki-laki itu kepadanya.

“ Lo..” kata mereka bersamaan, dari nada suara pun terdengar kalau mereka tidak senang.

“ Ngapain lo disini ?” tanya Rio dan orang itu bersamaan lagi.

“ Gue yang harusnya tanya kayak gitu. Ini rumah gue. Terus lo ngapain disini ?” Rio hanya bisa melongo mendengar jawaban dari orang itu.

“ Rumah lo ? Bukannya ini rumah Via ? Sivia Adinda ?” masih dengan ekspresi terkejut Rio balik bertanya pada teman satu kelas, saingannya, sekaligus ketua OSIS Permata, Cakka Arima.

“ Kak Riooo…” Panggilan ceria dari dalam rumah itu mengalihkan perhatian Cakka dan Rio. Rio dapat melihat jelas gadis yang ia cari sedang berjalan ke arahnya. Tapi tunggu ? Dengan siapa dia berjalan ? Laki-laki ? Pacarnya ? Ada rasa tidak suka yang menjalar keluar dari hati Rio saat melihat Sivia berjalan beriringan dengan laki-laki yang tidak ia kenal.

“ Sebenarnya seberapa banyak sih saingan gue.” batin Rio, ia sedikit gusar melihat dua laki-laki yang kini berdiri di hadapannya. Sedangkan Sivia sekarang sudah berada di depan Rio.

“ Mana ponsel Via ?” Rio tersenyum kecil sembari memandang Sivia yang mengulurkan tangan ke arahnya. Detik berikutnya ponsel itu sudah berada di tangan Sivia. Sivia pun tersenyum sambil memandang Rio.

“ Maaf merepotkan..” Sivia tersenyum lagi, Rio pun membalas senyuman dari Sivia.

“ Tapi salah kakak juga sih. Kenapa pakai acara sita ponsel Via mana lupa ngembaliin..” Sivia memamerkan deretan giginya yang putih pada laki-laki itu.

“ Candaaaa kaakkk..” lanjut Sivia saat melihat wajah Rio yang masam.

“ Oh iya Vi, mereka berdua pacar lo semua ? Wahh.. Wahh hebat bener lo.” Rio bertanya dengan nada menggoda pada Sivia. Walaupun  ia sendiri sedang was-was menunggu jawaban gadis itu. Sivia yang mendengar pertanyaan Rio hanya bisa tertawa.

“ Bukan ! Dia ini Alvin sahabat gue. Kalau dia lo pasti udah kenal kan ? Dia kakak gue.” Sivia menunjuk bergantian Alvin dan Cakka. Rio yang mendengar jawaban Sivia memandang takjub ke arah Cakka. Kakak ??

“ Bukannya Cakka suka samaaaa….”

“ Kak Cakka kenapa ? Suka sama siapa ??” terlihat jelas kalau Alvin sangat tertarik dengan topik ini. Kali ini giliran Rio menatap aneh laki-laki yang tadi diperkenalkan oleh Sivia. Alvin sendiri terus menatap Rio, ia benar-benar ingin memastikan argumennya selama ini.

“ Gak papa kok, gak usah lo pikirin.”

“ Dan buat lo…” Rio mencubit pelan hidung Sivia, hal itu jelas saja membuat Alvin dan Cakka menjadi kesal. Sedangkan Sivia hanya memanyunkan bibirnya.

 “ Lain kali jangan main ponsel kalau Bu Reni lagi nerangin. Ketauan, nyahok lo.” Sivia yang dinasehati oleh Rio hanya bisa memamerkan cengiran lebarnya. Agak malu juga sih.

                Sekarang terjadi keheningan di antara mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang angkat suara duluan. Mungkin kehilangan topik untuk dibicarakan.

“ Kka, gue boleh bicara bentar sama lo ?” Rio kini berbalik menghadap Cakka yang masih berdiri di depan pintu. Sivia dan Alvin yang dari tadi diam pun kini memandang Cakka dan Rio.

“ Sorry, gue gak ada urusan sama lo. Lagian gue gak punya waktu buat orang kayak lo.” Cakka dengan langkah santainya berjalan meninggalkan Rio. Rio yang menerima tanggapan seperti itu hanya melemparkan senyum sinisnya.

“ Jelas kita ada urusan ! Kita menyukai orang yang sama, Cakka Arima.” Cakka berhenti berjalan ketika mendengar kata-kata Rio. Sementara Sivia dan Alvin mulai mencerna ke mana arah pembicaraan kedua laki-laki itu.

 “ Tapi gue tau kalau gue yang bakal menang karena cinta lo gak bakal bisa bersatu. Skak mat Cakka Arima !” Rio tersenyum sinis, kali ini Cakka menatap geram ke arah Rio. Alvin diam, dia tau siapa gadis yang ada di hati kedua kakak kelasnya itu. Sementara Sivia terus menggelengkan kepalanya, ia tidak mengerti.

                Segalanya berlangsung cepat, dari suara derap langkah sampai suara pukulan yang terdengar. Detik berikutnya Sivia melihat Rio terhuyung ke belakang, kakaknya baru saja memberikan pukulan mentah pada ketua Komite Kedisiplinan SMA Permata.

“ Sialan lo Kka..” kali ini pukulan mentah Rio yang melayang tepat ke wajah Cakka. Tidak menunggu waktu lama aksi saling pukul pun terjadi. Alvin yang akan melerai Cakka dan Rio segera dihentikan oleh Sivia.

                Alvin kini memandang Sivia dengan tatapan tidak mengerti. Sivia yang ditatap seperti itu balik menatap Alvin lalu mengangguk pelan. Alvin kini menatap Sivia yang berjalan ke halaman rumah. Alvin mulai beranjak meninggalkan Cakka dan Rio saat melihat Sivia mengacungkan selang air ke arah mereka berdua.

                Cakka dan Rio yang masih saling pukul menghentikan aktivitas mereka saat merasakan air mengguyur tubuh. Mereka kini memandang Sivia dengan tatapan yang cukup tajam, tidak senang aksi pelampiasan kekesalan mereka diganggu. Sudah lama mereka bersitegang dan baru kali ini mereka punya alasan untuk saling memukul.

“ Viaaa…” teriak Cakka dengan suara keras.

“ Kalau kalian mau main pukul-pukulan keluar dari rumah ini. Gue gak suka, bikin malas !” Sivia dengan cepat berjalan melewati Cakka, Rio, dan Alvin. Dan dengan kasarnya ia membanting pintu rumahnya.

“ Jadi Cakka, gue yang bakal dapetin Via. Karena lo cuma kakaknya. Gak akan lebih. Dan gak mungkin bisa lebih !” Rio berkata dengan sinis pada Cakka.

“ Ha..ha..ha, lo pikir lo bisa dapetin Via. Via itu calon pacar gue. Udah lama gue suka sama dia. Jadi gak semudah itu lo dapetin dia.” balas Cakka dengan nada tak kalah sinis.

“ Via bukan barang yang bisa kalian perebutkan sesukanya dan nantinya bukan kalian yang bakal dapetin Via. Tapi gue, Alvin Praditya !” Cakka dan Rio yang saling menatap sinis tersentak mendengar suara itu, mereka kini menatap Alvin yang berjalan keluar dari gerbang.

“ Sialaan..” umpat Cakka dan Rio.

---------------------------

                Sivia berjalan tanpa suara di dapur rumahnya. Tangannya dengan cekatan mengambil baskom yang kemudian ia isi dengan air dingin. Di bahunya pun tersampir handuk bersih. Sekarang Sivia berjalan menuju kamar kakaknya. Tanpa mengetuk pintu ia langsung masuk ke kamar kakaknya, tatapan sinis adalah hal pertama yang ia dapatkan dari Cakka.  

“ Ngapain lo disini ?” tanya Cakka dingin, tapi dengan santai dan tanpa mempedulikan pertanyaan Cakka, Sivia duduk di ranjang Cakka.

“ Gue tanya sekali lagi, ngapain lo disini ?”

                Sivia masih diam sambil membasahi handuk yang ia bawa . Dan saat Cakka akan berteriak marah ia merasakan tangan dingin menarik wajahnya. Sekarang wajah Cakka berada tepat di depan wajah Sivia. Perlahan Cakka merasakan sesuatu basah menyentuh luka lebam di wajahnya.

“ Lo gak usah sok peduli sama gue.” Cakka masih tetap memandang tajam wajah Sivia yang berada tepat dihadapannya. Sivia hanya mendengus sebal mendengar kata-kata Cakka.

“ Kak Cakka, gue gak sok peduli. Gue emang peduli, lagian lo kakak gue satu-satunya.” Sivia berkata tegas, tangannya tetap mengompres lebam-lebam di wajah Cakka dengan telaten.

“ Kakak yaa..” batin Cakka. Jujur saja, saat tadi ia menatap Sivia, ia ingin sekali memeluk gadis itu. Bersikap ramah seperti yang dulu ia lakukan.

                Cakka menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, sekali lagi Sivia mendengus sebal melihat tingkah Cakka. Walau begitu Sivia masih tetap melanjutkan pekerjaannya, ia ingat setiap pagi Cakka selalu memasakkan sarapan untuknya, untuk kesehatannya.

                Perlahan Sivia menunduk dan mencium pipi Cakka.

“ Lekas sembuh kak !” Sivia kembali mengompres lebam di wajah Cakka. Sementara Cakka terus menahan senyumnya sembari tetap berpura-pura tidur.

-----------------------------

“ Cuttt..” Suara melengking Ibu Reni menghentikan Sivia dan Cakka yang sedang berdialog.

“ Aduh !! Sivia, Cakka kalian berdua kenapa sih ? Adegan saat kalian tidak berdialog bersama begitu lancar dan bagus. Tapi giliran kalian beradegan bersama, Buruk ! Intinya, romantisnya, kalian begitu kaku. Mata saya sampai sakit melihatnya berulang-ulang.”

Sivia dan Cakka diam dan sama sekali tidak membalas perkataan Ibu Reni. Mereka hanya menunjukkan raut wajah kesal. Sudah lebih dari 5 kali Ibu Reni mengulangi kata-kata itu. Tapi ini semua juga salah mereka sih, entah kenapa saat saling bertatapan semuanya terasa berat. Seperti ada jurang dalam yang memisahkan mereka.

“ Capek Bu..” keluh Sivia pada akhirnya. Ibu Reni yang mendengar itu langsung menatap Sivia dengan tatapan tajam.

“ Maaf Bu Reni, ini sudah jam 7 malam. Kita sudah latihan dari tadi siang. Dan semuanya juga sudah lelah.” Sebelum Ibu Reni memarahi Sivia, Rio segera menyela dan memberikan alasan yang cukup masuk akal.

“ Huhh. Baiklah, semuanya boleh pulang.” bata-kata yang sebenarnya biasa itu terdengar sangat indah di telinga semua pemain dan kru pentas ini.

“ Cakka dan Sivia, kalau kalian besok masih berakting dengan buruk, jangan harap kalian bisa pulang.” Sivia hanya memandang malas guru itu dan mengangguk.

“ Kak Rio terima kasih..” Sivia melemparkan senyumnya pada Rio yang sedang membereskan property drama ini. Rio sendiri mengacungkan ibu jarinya pada Sivia.


“ Lo pulang sama gue.” Sivia terdiam mendengar kata-kata Cakka. Ia sedikit ragu.

“ Lo boleh duduk dibelakang.” Sivia sedikit lega mendengar kata-kata Cakka. Ia masih takut duduk di bangku depan sebelah supir.

“ Makasih kak Cakka.” Sivia tersenyum pelan dan mengikuti langkah Cakka.

“ Lo kalah satu langkah Mario.” Cakka berhenti sejenak di samping Rio, berkata dengan sangat pelan.

“ Cuma satu langkah. Berikutnya lo bakal skak mat !” balas Rio pelan. Sivia hanya menggeleng melihat tingkah dua orang itu. Dia sama sekali tidak sadar kalau dirinyalah yang membuat kedua laki-laki itu bersitegang.

-----------------------

                Dengan langkah gontai Sivia melangkah menuju pintu depan rumahnya. Cakka sendiri mengikuti dibelakangnya. Cakka agak sedikit heran ketika Sivia mengetuk pintu. Rumahnya kan sepi ? Jadi untuk apa mengetuk pintu.

“ Selamat datang !” Sivia tersenyum sumringah mendapati Alvin yang membukakan pintu rumahnya. Sebelum pulang ia memang sempat mengirim pesan pada Alvin agar menemaninya bercerita malam ini. Cakka sendiri diam melihat Alvin disana.

“ Lo kece deh Vin pake itu.” Sivia menunjuk celemek yang dipakai oleh Alvin. Alvin sendiri hanya menunjukkan cengiran lebarnya.

“ Gak usah lo bilang, gue tau kalau gue kece.” Sivia mendecih pelan, ia lupa betapa narsisnya sahabatnya ini.

“ Gue masak buat lo sama kak Cakka. Lo pasti belum makan kan ? Dan pasti capek juga kan ? Kalau gitu cepet masuk !” Dengan cepat Alvin merangkul bahu Sivia. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang makan. Cakka sendiri masih diam di depan pintu.

“ Kenapa gue selalu kalah satu langkah sama Alvin.”

----------------------------

                Sivia sedang tidur-tidur ayam di atas tempat tidurnya. Sedangkan Alvin memainkan asal gitar milik Sivia, sembari menunggu Sivia memulai bercerita.

“ Capek Vi ?” tanya Alvin pada akhirnya.

“ Hmm, Vin, entah kenapa gue susah banget beradegan sama Kak Cakka.” Sivia membalik tubuhnya dan kini menghadap Alvin.

“ Canggung ?”

“ Entahlah, setiap di dektanya ada rasa nyaman dan rasa tidak nyaman.” Sivia menepuk-nepuk ranjangnya, itu tanda agar Alvin duduk disana, menemaninya.

“ Lo suka sama dia ?” Alvin bertanya pelan, Sivia mendongak kali ini sambil bergerak mendekat ke arah Alvin.

“ Mungkin, tapi itu dulu. Gue udah kehilangan dia yang dulu.”

“ Maksud lo ?” Alvin melihat Sivia mengedikkan bahunya. Perlahan tangan Sivia bergerak memeluk Alvin. Mencari kenyamanan.

“ Dulu sebelum dia jadi kakak tiri gue, gue sempet suka sama dia. Tapi itu dulu, cerita lama.” Alvin perlahan mengurai pelukannya pada Sivia. Memandang lekat mata gadis itu.

“ Itu dulu Vin. Semuanya sudah berakhir, sejak dia jadi kakak gue.” Sivia mulai membaringkan tubuhnya, Alvin menghela nafas dan menarik selimut untuk menutupi tubuh Sivia.

“ Banyak istirahat. Jangan kecapekan.” Alvin mencium lama kening Sivia, Sivia hanya tersenyum dan kemudian ia membalas mencium pipi Alvin.

“ Selamat malam Via !”

“ Selamat malam Alvin !”

                Alvin menutup pintu kamar Sivia dengan pelan. Setelah pintu itu benar-benar tertutup, ia tetap tidak beranjak sama sekali dari sana.

“ Gue suka sama lo..”

“ Siapa yang bakal dapetin lo ? Dimana hati lo sekarang ? Gue bingung Vi..”

“ Hati dia belum buat siapa-siapa. Tapi lo harus tau, kalau gak lama lagi hati itu bakal buat gue. Seluruhnya buat gue.” kata Cakka, Alvin agak terperanjat melihat Cakka yang sudah ada disampingnya. Sejak kapan kakak tiri Sivia itu ada disana.

“ Lo mau buat dia sakit kak ?”

“ Maksud lo ?”

“ Kalau sampai dia menyerahkan hatinya buat lo. Kalian gak mungkin bisa bersatu. Ingat status kalian !”

“ Tapi lo tenang aja kak. Yang bakal dapatin hati Via itu gue, bukan lo atau kak Rio.” Alvin berjalan santai meninggalkan Cakka yang mendengus sebal.

“ Tapi gue cinta sama dia..”

“ So ! Gue juga cinta sama dia.” balas Alvin santai.

********


***Makasih buat yang udah baca***
***Harap tinggalkan jejak buat penulis***


_mei_

Tentang Kisah [2]


Tentang Kisah [2]

                Satu minggu sudah Pak Duta dan Ibu Renata meninggalkan kedua anaknya sendirian di rumah. Dan satu minggu itu terasa sangat lama untuk Cakka dan Sivia. Setiap hari yang mereka lakukan hanya saling memandang, sekolah, pulang, bahkan untuk makan bersama pun mereka enggan.

“ Viaaa..” Sivia yang sedari tadi mengamati lapangan sekolah pun menatap Alvin yang berteriak memanggilnya sambil berlari ke tempat dia duduk.

“ Aduh Vin, ini masih pagi dan gue males dengerin gosip murahan  dari lo. Lagian lo itu kan cowok, cakep lagi, jadi jangan suka ngegosip deh. Gak baik !” Alvin hanya cemberut mendengar perkataan Sivia.

“ Via, sebenarnya gue itu gak suka ngegosip tapi karena lo itu kurang update jadilah gue yang selalu ngasih berita terhangat ke lo.” bela Alvin, Sivia hanya mengangguk malas menanggapi pembelaan Alvin. Bakal lama kalau perdebatan ini diterusin.

“ Ehh Vi, gue bawa berita soal kak Cakka sama pementasan drama Putri Aurora.”

“ Tuhh, lo ngegosip kan !” tuding Sivia tanpa ampun, Alvin hanya cengengesan mendengarnya. Harus diakui hal seperti ini emang lebih tepat disebut gosip daripada berita.

“ Gue denger kak Cakka bakal jadi Pangeran buat acara drama sekolah kita dan hari ini ada audisi jadi Putri Aurora.”

“ Terus ? Lo mau ikut audisi jadi Putri Aurora, idihh, gak cocok banget.” Sivia bergidik ngeri sambil membayangkan Alvin memakai gaun-gaun seperti di kartun Barbie.

“ Tapi kayaknya cantik juga sih lo..” gumam Sivia pelan.

“ PLETAK…” tanpa ampun Alvin memukul kepala Sivia. Sivia sendiri hanya mengusap kepalanya sambil memamerkan deretan giginya ke arah Alvin.

“ Enak aja lo ! Lo pikir gue cowok apaan ?”

“ Cowok jadi-jadian kali Vin. Lagian gue gak pernah lihat lo jalan sama cewek selain gue.” Sivia hanya nyengir lebar saat Alvin menatapnya tajam.

“ Mau bukti ?”

Alvin menyeringai licik, detik berikutnya wajahnya sudah benar-benar dekat dengan wajah Sivia, mungkin hanya 5 cm. Dan saat itu semburat merah pun segera menjalari wajah Sivia, bahkan dari gerak tubuh Sivia dengan mudah dapat diketahui kalau gadis itu sedang salah tingkah.

“ Alviiiin…”

Sivia berteriak cukup keras karena Alvin tiba-tiba menutup kedua matanya. Alvin sendiri segera melemparkan pandangan ke langit tanpa melepas tangannya yang masih menutup mata Sivia. Terlihat jelas semburat merah yang mulai menjalar di  wajah Alvin. Dia juga salting, dia malu dengan apa yang ia lakukan tadi.

Dia malu ketika ingat betapa dekat wajahnya dengan wajah Sivia tadi. Dia malu karena melihat gerak tubuh Sivia yang salah tingkah. Dan alasan terkuat karena Alvin tidak ingin Sivia melihat wajahnya yang memerah, maka dari itu Alvin menutup kedua mata Sivia.

----------------------

“ Hei, kamu cepat bangun !” Sivia mengucek matanya pelan, siapa sih orang yang berani ngebangunin dia. Gak tau lagi enak-enaknya tidur apa ? Dan saat Sivia ingin marah-marah, bibirnya jadi terkunci rapat saat melihat siapa yang ada dihadapannya.

“ Eh, Ibu Reni.” Sivia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil memamerkan senyum tidak ikhlas pada guru yang termasuk dalam jajaran guru killer  SMA Permata.

“ Kamu ngapain disini ?” tanya Ibu Reni dengan suara yang cukup tinggi, Sivia sendiri masih diam sambil mencari sebuah alasan yang tepat. Mana mungkin dia bilang kalau dia bolos pelajaran matematika gara-gara lupa ngerjain PR. Bisa dimakan sama Ibu Reni dia !

“ Emmm, saya..” Sivia memutar bola matanya.

“ Oh, iya ! Saya mau ikut audisi Putri Aurora.”

“ Nah, karena terlalu lama nunggu jadi ketiduran deh Bu.” Sivia menghela nafas lega ketika ia selesai berbicara. Dan tidak sengaja dia melihat wajah Bu Reni yang berbinar.

“ Alamat mati !!” Sivia merutuki dirinya sendiri, merutuki alasan yang keluar dari mulutnya.

“ Sebenarnya audisinya sudah selesai, tapi karena kamu memaksa, ayo audisi lagi.” Sivia yang mendengarnya hanya melotot kaget, memaksa darimananya. Bahkan dia sama sekali tidak mau ikut audisi ini.

“ Tapi kalau sampai akting kamu jelek, kamu akan dapat hukuman.” Sivia menelan ludahnya sendiri, ini baru yang namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula.

                Sivia mengikuti Ibu Reni yang berjalan menuju ke panggung di tengah aula. Disana Sivia melihat Cakka, Rio, dan beberapa anggota drama yang bersiap pergi. Sivia pun menghela nafas panjang.

“ Semoga gue gak kepilih !”

“ Anak-anak jangan pergi dulu !” Suara Ibu Reni dalam sekejap menghentikan langkah orang-orang yang akan pergi dari sana. Sebagian dari mereka pun mulai berbalik dan menatap malas ke arah Bu Reni.

“ Masih ada satu kontestan lagi.” Terlihat raut wajah Ibu Reni yang berbinar sambil mengatakan itu. Sivia dapat menyimpulkan kalau sejak tadi tidak ada satu pun siswi yang berhasil menarik hati guru killer itu. Dan Sivia juga dapat melihat raut terkejut dari Cakka, raut tidak senang dari anggota klub drama lainnya, dan senyuman manis dari Rio.

“ Sekarang, silahkan. Jangan lupa ada hukuman kalau akting kamu jelek.” Sivia menatap ngeri ke arah Ibu Reni, kenapa ada guru sejahat itu disini.

“ Semoga gue gak kepilih.”

                Sivia menarik nafas panjang dan mencoba tersenyum. Tangannya meraih malas naskah drama yang disodorkan oleh Rio. Sivia membaca naskah sebentar dan mulai berakting sebisanya. Sivia sama sekali tidak melihat ekspresi-ekspresi kagum yang terpancar jelas dari wajah para juri.

“ Oke ! Sudah cukup ! Pengumumannya besok akan saya tempel di mading.” Sivia menghela nafas lega saat suara Bu Reni menghentikannya berdialog sendirian.

“ Terima kasih Bu. Saya permisi.” Tanpa berbasa-basi lagi Sivia langsung keluar dari aula.

“ Dia gadis yang menarik.” Rio tersenyum simpul sambil menatap Sivia yang berlari keluar aula. Cakka sendiri mengangkat alis ketika mendengarkan kata-kata Rio.

“ Dia ?” Cakka bertanya pada Rio sambil menunjuk ke arah Sivia yang masih berlari.

“ Iya, gadis yang cantik, lucu, dan menarik. Gue pikir, gue harus dapetin dia.” Cakka memutar bola matanya malas. Ada rasa kesal yang memenuhi hatinya.

“ Sebelum itu, lo harus bisa kalahin gue dulu.” Cakka berjalan meninggalkan Rio yang masih terpaku di tempatnya.

---------------------------

“ Jam matematika tadi kemana ?” Alvin dan Sivia kini sedang asyik berbincang sambil sesekali memainkan kaki mereka yang tercelup sebagian di kolam renang. Mereka sangat suka dengan keadaan yang seperti ini.

“ Gue tadi ke tempat yang paling buruk sedunia.” Alvin mengernyit, tanda kalau ia tidak mengerti apa yang dimaksud Sivia.

“ Gue tadi di aula, ikut audisi Putri Aurora.” Sivia melihat Alvin yang menganga lebar di depannya. Melihat ekspresi Alvin itu Sivia terkikik pelan, Sivia pun mengusap pelan wajah Alvin.

“ Isss Siviaaa….” protes Alvin sambil menjauhkan tangan Sivia dari wajahnya. Sivia sendiri kembali tertawa melihat ekspresi Alvin.

“ Jangan-jangan lo lupa kalau Kak Cakka yang jadi pangerannya ? ” tanya Alvin, Sivia tersenyum malas mendengar itu. Bagaimana mungkin ia lupa. Lagipula saat di aula ia melihat Cakka memandangnya tajam, entah apa artinya itu.

“ Gak ! Tapi gue yakin gue gak bakal kepilih jadi Putri Aurora. Gue kan gak hebat dalam bidang itu.”  Alvin tersenyum mendengar kata-kata Sivia.

“ Jangan terlalu yakin, lo itu gak sadar seberapa besar kemampuan lo.” Sivia memandang Alvin bingung.

“ Maksud lo ?” Alvin hanya mengangkat bahunya dan mengambil gitar yang tadi ia siapkan. Sivia hanya tersenyum, ia paling suka mendengarkan alunan gitar dari permainan Alvin.

------------------------

                Di tengah keramaian kelas yang bingung dengan aksi pinjam-meminjam PR yang belum dikerjakan, laki-laki ini masih bisa nyaman membaca buku biologinya. Kalau diumpamakan seperti dunia milik dia sendiri.

“ Vin, gue pinjem PR lo dong.” teriak salah seorang anak dari bangku depan kelas.

“ Buku gue dipinjem Daud, ambil sendiri Yon.”

                Alvin kembali meneruskan membaca buku biologi miliknya. Alvin memang sangat suka pelajaran biologi karena menjadi dokter adalah cita-citanya. Sejenak ia meletakkan buku biologinya, entah kenapa pikirannya melayang pada seorang gadis yang sejak 3 tahun lalu telah menjajah hatinya.

“ Sampai kapan gue bisa simpan rasa ini terus. Sampai kapan gue bisa bilang kalau gue ini sahabat lo.”

“ Alviiiiinn….”

Alvin yang sedang asyik melamun pun terlonjak kaget mendengar teriakan Sivia, matanya kini menatap gadis yang sedang berdiri di ambang pintu kelasnya.

“ Viaaaa berisik banget sih lo.”

Belum sempat Alvin memarahi Sivia, teman-teman sekelasnya sudah memarahi Sivia terlebih dalu. Sivia sendiri langsung nyengir sambil meminta maaf pada teman-temannya. Setelah selesai meminta maaf, Sivia berjalan ke tempat duduk Alvin dengan tampang yang kusut.

“ Kenapa lo ? Muka kusut amat. Butuh setrika ?” goda Alvin, bukannya tersenyum Sivia malah semakin memanyunkan bibirnya.

“ Gue kepilih jadi Putri Aurora.” Alvin yang mendengarnya langsung terpaku. Moodnya langsung anjlok begitu saja. Sampai sekarang ia masih begitu yakin kalau Cakka menyukai Sivia. Tapi ? Sekarang mereka berperan jadi putri dan pangeran. Berperan bersama dan saling mencintai ? Oh, God !

“ Kenapa lo diam aja ?” Sivia menggerakkan bolak-balik tangannya di depan wajah Alvin.

“ Gue kesel.”

“ Hahh ! Kesel kenapa ?” Sivia memandang Alvin bingung sedangkan Alvin merutuki kata-katanya barusan.

“ Kesel ! Kenapa bukan gue yang jadi Aurora.” kata Alvin seenaknya, dia tidak mau Sivia tau kalau dirinya ada hati dengan gadis itu. Sivia yang mendengar itu langsung memandang Alvin dengan tatapan tajam. Sangat tajam dan benar-benar serius.

“ Vin, lo beneran suka sama kak Cakka ?” Kali ini Alvin tidak bisa membaca ekspresi Sivia. Wajah gadis itu begitu serius. Detik berikutnya tangan Sivia sudah menempel di keningnya.

“ Vin lo masih normal kan ?” Sivia bertanya tegas, Alvin sendiri langsung memegang tangan Sivia. Memandang tajam ke arah gadis itu.

“ Gue masih suka sama cewek. Gue tadi bercanda. Inget ! Gue suka cewek.” Detik itu Sivia merasakan kelegaan luar biasa menjalar di hatinya. Dia sendiri tidak tau apa yang terjadi padanya.

“ Syukurlah..” Sivia melepaskan tangan Alvin yang masih memegang tangannya. Kepalanya sendiri ia tundukkan, menutupi wajahnya yang memerah tanpa ia tau sebabnya.

“ Hidup gue jelek banget. Masak gue harus main drama sama kakak gue.” ucap Sivia lirih. Alvin yang mendengar itu hanya tersenyum miris.

“ Bukan cuma hidup lo yang jelek. Gue lebih sengsara ngelihat lo main drama sama dia. Sama orang yang suka sama lo.” Batin Alvin.

----------------------

                Semua anggota drama Putri Aurora sedang berkumpul di aula, sudah lebih dari satu jam mereka mendengarkan cuap-cuap dari Ibu Reni. Entah kenapa guru itu tidak bosan mengulang hal yang sama. Sivia sendiri hanya memainkan handphone miliknya, malas mendengarkan ocehan guru satu itu.

“ Dengerin Ibu Reni..” Sivia menoleh ke arah suara yang menasehatinya, dilihatnya Rio yang memandangnya sambil menunjuk Ibu Reni yang belum berhenti bicara.

“ Ngapain ngedengerin kalau yang ia bicarakan dari tadi sama aja. Intinya cuma satu tapi ngomongnya putar-putar. Bosan kak.” Sivia membalas kata-kata Rio sambil tetap memainkan handphonenya.

“ Kalau gitu bicara sama gue aja.” Dengan cepat Rio mengambil handphone Sivia dan memasukkannya ke saku seragam OSISnya.

“ Kak Rioooo balikiiiin…”

Sivia segera meminta maaf saat menyadari semua orang disana menatapnya tajam. Apalagi Ibu Reni memandangnya dengan tatapan yang sangat tajam. Tanpa mempedulikan ulah Sivia, Ibu Reni kembali menerangkan hal yang sama.

“ Huhhh…”

“ Dasar kak Rio jelek !!” Sivia menjulurkan lidahnya ke arah Rio, Rio sendiri tertawa tanpa suara melihat ekspresi Sivia. Karena kesal Sivia pun mendekat ke arah Rio dan membisikkan sesuatu.

“ Ternyata Ketua Komite Kedisiplinan jahil juga yaa..”  Kali ini giliran Rio yang terdiam sementara Sivia terkekeh geli.

“ Dasar bocah ! Berisik !” Sivia dan Rio segera menatap orang yang memarahi mereka. Dan mereka mendapati Cakka sedang menatap mereka dengan tatapan tajam.

“ Kakak Cakka Arima, ini gak ada urusannya sama lo !” Sivia segera pindah duduk ke kursi depan sebelum ia bertengkar dengan Cakka. Gak lucu juga kalau sampai pemain putri sama pangeran berantem, bahkan sebelum latihan drama. Bisa-bisa dia digorok sama Ibu Reni.

“ Idihh seremm…” Sivia bergidik ngeri saat membayangkan raut wajah Bu Reni yang akan marah kalau dia dan Cakka berantem.

*********

***Makasih udah mau baca***
***Buat yang udah baca harap tinggalkan jejak buat penulis***



_mei_

Sabtu, 05 Mei 2012

Destiny, You and Me Part 7 ( Isi Hati )

Destiny, You and Me Part 7
~ Isi Hati ~

                Kanya sedang sibuk membalut kaki Sivia saat tiba-tiba Gabriel masuk ke kamar mereka. Sivia dan Kanya pun langsung menatap Gabriel dengan tatapan tidak mengerti. Sementara Gabriel sendiri langsung menarik kasar tangan Sivia.

“ Gab..” teriak Sivia kaget. Gabriel sendiri tidak mempedulikan teriakan Sivia. Dan sekarang Gabriel malah menyeret kasar Sivia keluar dari kamarnya. Sivia sendiri agak kesulitan mengikuti langkah Gabriel, hal itu terlihat jelas dari langkah Sivia yang agak timpang.

“ Apaan sih Gab ?? Sakit tau !!” Tepat beberapa meter dari kamarnya, Sivia mendorong  kasar tubuh Gabriel yang menyeretnya.

“ Kamu yang apa-apaan Via, bukan aku !” bentak Gabriel keras. Mungkin karena bentakkan Gabriel yang cukup keras orang-orang mulai muncul dari balik pintu kamar masing-masing. Melihat apa yang sedang terjadi.

“ Kamu yang mulai Gab, tiba-tiba saja menyeret aku keluar dari kamar. Sakit tau !!” Sivia hanya menunduk sambil memandangi perban yang terbelit sekenanya di kakinya.

“ Kamu kenapa ??” kali ini Sivia mencoba meredam emosinya, dan memandang bingung ke arah Gabriel.

“ Sivia Azizah ! Kenapa kamu gak bilang kalau kamu belum sembuh dari sakit ?” tanya Gabriel tegas, suaranya yang terdengar jelas itu membuat orang-orang yang menonton mereka terbelalak kaget. Bukankah Sivia pulang karena dia sudah sembuh ??

“ Kaa.. Kamu tau ?” tanya Sivia dengan nada gugup.

“ Kenapa kamu sembunyiin ini dari aku Vi ?” Gabriel memegang lembut bahu Sivia, menatap lembut gadis itu dan sejenak melupakan amarahnya.

“ Apa ibu ? Tante Desi ?” Sivia sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan dari Gabriel.

“ Aku yang memberi tau semuanya pada Gabriel.” Chris tiba-tiba saja muncul dari kerumunan orang yang kini mengelilingi mereka.

“ Chris ? Bagaimana ?” Sivia memandang Chris dengan tatapan bingung. Bagaimana mungkin ada yang tau kalau dia belum sembuh ?

“ Apa kamu lupa, saat kamu sakit, bertabrakan dengan laki-laki, muntah darah, lalu pingsan.” Chris memandang Sivia. Sedang Sivia semakin terpaku.

“ Kamu ?”

“ Iya, laki-laki itu aku.” jawab Chris.

“ Aku… aku..” Sivia masih berusaha sekuat tenaga menahan laju air matanya.

“ Maaf aku berbohong, maaf, aku hanya…” Sivia diam, air matanya mulai mengalir keluar. Sekarang yang terdengar hanya isakannya.

“ Sivia…” panggil Ify lembut. Sivia masih tetap menangis sambil menutup wajahnya. Perlahan Ify berjalan mendekat ke arah, memeluk Sivia dengan hangat.

“ Sivia tenanglah..” kata Ify lembut, semua mata kini memandang kedua sahabat itu.

“ Maaf aku berbohong, aku hanya tidak ingin, tidak ingin membuat kalian sakit.” Sivia berbicara sambil terus menangis dalam pelukan Ify.

“ Aku hanya tidak ingin mengecewakan sahabatku. Mengecewakan harapan kalian agar aku sembuh.” Selesai berkata seperti itu Sivia merasakan tubuhnya ditarik perlahan. Dan kini ia berada dipelukan seseorang.

“ Bodoh !! Kami akan lebih kecewa karena kamu tidak mau membagi kesedihan dan kesusahanmu pada kami.” tutur Gabriel. Ify hanya terdiam dan menangis. Bukan karena cemburu, tapi ia tidak sanggup melihat dua sahabat di depannya begitu terluka. Begitu juga dirinya yang terluka dengan semua kenyataan tentang Sivia

“ Sini Fy..” Gabriel mengulurkan tangannya ke arah Ify. Dengan cepat Ify menyambut uluran tangan itu dan kini ia sudah berada dipelukan Gabriel bersama Sivia.

“ Kalian berdua itu orang yang begitu penting dalam hidupku. Dan Sivia, aku dan Ify  sahabatmu bukan ?? Jadi kamu harus berbagi kesedihanmu kepada kami. Harus !!” tutur Gabriel tegas. Di dalam pelukan Gabriel, Sivia dan Ify mengangguk mengerti.

“ Maafkan aku…” tiba-tiba Gabriel merasakan kemeja yang ia kenakan basah. Perlahan ia juga merasakan tubuh Sivia merosot ke bawah. Segera Gabriel melepaskan pelukannya pada Ify dan menahan tubuh Sivia yang semakin merosot.

“ Siviaaaa……”

>

“ Dokter, bagaimana keadaan Sivia ?” tanya Ify saat melihat dokter yang menangani Sivia keluar dari ruang rawat.

“ Kondisinya semakin memburuk, dan dia benar-benar membutuhkan seorang donor.” Semua yang mendengar itu benar-benar sudah hopeless.

“ Kami boleh masuk dok ??” tanya Ify lagi. Sang dokter hanya membalas dengan anggukan dan kembali ke ruangannya.

                Ify, Chris, dan Gabriel yang berada disana segera berjalan masuk ke kamar rawat Sivia. Rasanya benar-benar sakit ketika melihat orang yang mereka sayangi terbaring tidak berdaya.

“ Sivia cepat sembuh yaa..” Ify menggenggam lembut tangan Sivia. Perlahan air matanya mulai turun.

“ Tenanglah, Sivia gadis yang kuat kok.” Gabriel mengusap pelan kepala Ify, mencoba menenangkan sahabat tersayangnya itu walau ia sendiri sebenarnya juga takut. Ia takut kehilangan Sivia. Benar-benar takut.

“ Benar, Sivia gadis yang kuat. Buktinya dia masih bertahan sampai sekarang.” tambah Chris.

“ Terima kasih..” Ify tersenyum sambil mengusap lembut air matanya.

>

                Rasa benar-benar berat untuk membuka mata. Sivia mencoba mengerjap berkali-kali sambil sesekali meringis menahan sakit. Saat pandangannya mulai jelas, Sivia mulai memperhatikan sekelilingnya. Yang ia lihat bukan orang tua atau keluarganya, yang ia lihat adalah Gabriel yang sedang tertidur di sampingnya ranjangnya, Ify dan Chris yang juga tertidur di sofa.

                Sivia tersenyum lirih, ia sadar 3 orang ini tidak akan pernah meninggalkannya, bagaimanapun keadaannya, dan apapun yang terjadi padanya. Sivia mengurai pelan genggaman tangan Gabriel pada jemarinya. Perlahan ia turun dari ranjang, membuka tirai,  dan berjalan keluar dari ruang rawatnya.

>

                Ify mengerjapkan matanya berulang-ulang saat ia merasakan sinar matahari memasuki kamar rawat Sivia. Perlahan ia memandang sekeliling, dan matanya membelalak kaget saat tidak melihat Sivia di atas ranjangnya.

“ Gabriel, Chris bangun !! Sivia gak ada !!” mendengar suara Ify yang cukup keras Gabriel dan Chris langsung terbangun dari mimpi mereka.

“ Hahh.. Sivia kemana ??” tanya Chris dan Gabriel.

“ Yee, mana aku tau ?? Orang aku juga baru bangun. Cari yuk !” Ify pun keluar dari kamar rawat diikuti Gabriel dan Chris.

>

“ Siv…” Sivia yang sedang asyik memandangi anak-anak kecil yang sedang berlarian mengalihkan pandangannya pada orang yang memanggilnya sambil menyampirkan jaket ke tubuhnya.

“ Masuk yuk ! Kamu kan masih sakit.” ajak Gabriel.

“ Biarkan aku disini Gab. Aku tidak tau sampai kapan aku bisa memandangi pemandangan seperti ini.” Gabriel langsung meletakkan telunjuknnya tepat di bibir Sivia.

“ Kamu akan selalu bisa memandangnya. Karena aku, Chris, dan Ify tidak akan mengijinkanmu pergi. Percaya itu.”  Sivia hanya tersenyum, perlahan ia menyandarkan kepalanya pada bahu Gabriel.

“ Sivia…”

“ Aku menyukaimu.. Kamu tau itu kan ? Aku sangat menyukaimu.” ucap Gabriel tiba-tiba.

“ Gabriel, maaf kalau aku hanya bisa melukai hatimu. Aku masih belum bisa membalas cintamu. Maafkan aku.”

“ Diamlah. Sebenarnya aku tau jawabanmu.”

“ Tapi walau begitu kamu harus tau kalau aku juga menyukaimu. Hanya mungkin, takdir belum menginginkan kita untuk bersama.” Sivia mencium pelan pipi Gabriel, Gabriel tersenyum. Perlahan ia menarik Sivia ke pelukannya. Sesekali ia mencium puncak kepala gadis itu.

“ Sivia, kamu harus percaya. Kalau ada takdir diantara kamu dan aku. Dan takdir itulah yang selama ini menyatukan kita, dan nantinya takdir itu akan membawa kembali kamu kepadaku.” Sivia tersenyum sambil mengeratkan pelukannya pada Gabriel.

“ Aku ingin percaya itu Gab..”

>

“ Mungkin aku memang tidak bisa masuk lebih jauh, hanya sebagai sahabat. Sekarang dan selamanya.” lirih Ify, matanya menatap nanar ke arah Gabriel dan Sivia yang sedang berpelukan.

“ Sama sepertimu, aku juga tidak bisa masuk lebih jauh diantara mereka.” Pelan Chris merangkul bahu Ify. Ia merasakan hal yang sama seperti yang gadis itu rasakan.

“ Untuk mengesahkan patah hatinya kita, makan di kantin Rumah Sakit yuk.” Ify tersenyum kecil dan mengangguk. Perlahan ia dan Chris berjalan menuju ke kantin.

“ Dari awal sebenarnya aku tau konsekuensi mencintai Sivia adalah patah hati. Karena dari awal aku tau mereka lebih dari sekedar sahabat. Ada cinta diantara mereka. Ada takdir yang menghubungkan mereka. Walau begitu aku tetap saja mencintainya, mungkin karena Sivia adalah tipe yang mudah untuk dicintai.” Chris berkata pelan, Ify hanya tersenyum.

“ Aku juga sama..” balas Ify.

“ Jadian Yuk Fy, mumpung sama-sama patah hati.” kata Chris tiba-tiba, mendengar itu semburat merah menjalar pasti di pipi Ify.

“ Apasih Chris..” Ify memukul pelan lengan Chris. Sedang Chris sendiri hanya tertawa renyah melihat ekspresi Ify.

“ Ciieee, muka kamu merah banget lho Fy.” goda Chris.

“ Kamu sih, goda aja. Orang lagi patah hati juga.” Ify hanya memanyunkan bibirnya.

“ Kan daripada kita sedih-sedihan, ayo jadian !!” goda Chris lagi.

“ Chris berhenti dong !! Aku telen juga nih kamu.” Ify berteriak marah, walau begitu ia tidak bisa menutupi semburat merah di pipinya. Chris sendiri semakin tertawa melihat ekpresi Ify.

>

“ Cieee, kalian berdua dari mana ? Pacaran yaa ?” todong Sivia seenaknya pada Chris dan Ify yang baru kembali dari kantin.

“ Yee, mana mungkin pacaran sama orang kayak gini.” Dengan sadisnya Ify menjitak kepala Chris.

“ Aduuhhh…” ringis Chris, Gabriel dan Sivia hanya tertawa melihat tingkah dua orang itu.

“ Tadinya mau aku ajak jadian, eh dianya malah merah. Malu-malu kucing tuh.” Kata Chris seenaknya.

“ Aduuuuhhh…” lagi-lagi Chris mengerang kesakitan karena kali ini Ify menginjak sadis kakinya. Sivia dan Gabriel yang mendengar kata-kata Chris barusan malah cengo. Tapi tak lama mereka tertawa bersama.

>

“ Gab, kamu pulang aja sana. Pasti kamu juga capek nungguin aku dari pagi.” Sivia berbicara lembut pada Gabriel yang sedang mengupas apel untuknya.

“ Kalau aku pulang siapa yang bakal nungguin kamu ?? Semua keluargamu kan sedang pergi ke Padang gara-gara saudara kamu nikah. Dan aku diberi amanat sama ibumu buat jaga kamu.” tutur Gabriel sambil menyuapkan satu per satu potongan apel ke mulut Sivia.

“ Aku sendirian juga bisa kok. Gak papa.”

“ Aduhhh..” Sivia meringis kecil karena hidungnya dicubit Gabriel.

“ Sendirian gimana ? Tadi aja waktu aku tinggal makan siang sama Chris dan Ify kamu jatuh dari ranjang.” kata Gabriel sambil mengingatkan kejadian tadi siang.

“ Huuhh..itukan tadi gara-gara kebelet Gab.” bela Sivia.

“ Lalu nanti malam kalau kamu kebelet lagi, kamu mau gitu pake adegan jatuh lagi ?” tanya Gabriel sambil menyeringai lebar, Sivia sendiri hanya menggeleng.

“ Gak lahh. Jatuh itu kan sakit. Banget malah.”

“ Makanya kamu nurut aja. Besok aku gantian kok sama Ify.” Sivia menghela nafas panjang. Ia lupa kalau sifatnya, sifat Gabriel, sifat Ify sama semua, keras kepala !

“ Oke, karena aku waras aku mengalah.”

“ Aduuhh..” Sivia menjerit lagi karena Gabriel memencet hidungnya lagi.

“ Udah tidur sana, biar cepet sembuh.”

“ Aku kan gak mungkin sembuh.” Sivia menarik selimut sampai menutupi lehernya, sementara Gabriel masih terpaku karena mendengar perkataan Sivia.

“ Jangan bodoh, kamu pasti sembuh.” kata Gabriel tegas, Sivia hanya tersenyum kecil.

“ Semoga…” lirih Sivia.

***********


***Makasih udah mau baca, maaf ngaretnya lama banget***
***Buat yang udah baca diharap meninggalkan jejak buat penulis***


_mei_

Tentang Kisah [1]


Tentang Kisah [1]

“ Viaaaaa…” teriak seorang laki-laki berseragam SMP di depan sebuah rumah yang cukup besar. Tak perlu menunggu lama, seorang gadis berseragam sama keluar dan menyambutnya dengan senyuman hangat.

“ Udah siap ?” Laki-laki tadi sedikit mengangkat alis matanya sambil bertanya menggoda. Gadis yang bernama Via tadi kembali tersenyum.

“ Siap dongg..” Dengan cepat gadis itu menggamit lengan laki-laki yang menjemputnya, berjalan bersama menuju sepeda motor yang sembarang di depan rumah itu. Tidak lama, sepeda motor itu pun  di jalanan yang masih terlihat sepi.

                Sivia Adinda dan Alvin Praditya, dua orang remaja SMP itu akan mengikuti acara MOS di SMA Permata, sekolah baru mereka. Dan butuh waktu yang cukup lama untuk sampai ke sekolah baru mereka. Tapi untung saja mereka bisa belum terlambat. Gak lucu juga, kalau MOS hari pertama mereka harus dihukum karena terlambat.

                Sekarang semua siswa yang mengikuti MOS sudah berkumpul di lapangan sekolah. Disanan Alvin dan Sivia tersenyum, mereka baru saja melihat daftar kelas yang akan mereka tempati selama mereka kelas 10 dan ternyata mereka 1 kelas. Mungkin mereka benar-benar tidak bisa dipisahkan.

“ Selamat Pagi adik-adik !” sapa seorang laki-laki tampan yang sekarang berdiri di atas mimbar.

“ Via..” Alvin sedikit menyenggol lengan Sivia, membuat Sivia yang dari tadi menunduk kini mengangkat wajahnya. Sivia pun melihat ke arah dimana mata Alvin tertuju. Sivia hanya tersenyum kecut menatap laki-laki yang sekarang berada di atas mimbar. Berbicara dengan tegas.

“ Gue tau, gue tau apa yang bakal terjadi kalau gue sekolah disini. Tapi mau gimana lagi, ini sekolah terbaik disini.” jelas Sivia panjang, sebagai tanggapan Sivia bisa mendengar helaan nafas Alvin yang begitu panjang. Tiga tahun ia bersahabat dengan Sivia tapi sampai sekarang ada hal-hal yang tidak dia mengerti dari gadis itu.

“ Saya Cakka Arima, Ketua OSIS Permata. Mulai sekarang kalian semua harus mengikuti semua aturan yang sudah diterapkan di sekolah ini. Tanpa terkecuali. Dan selamat datang di Permata.” tutur Cakka tegas.

 Alvin memandang sekelilingnya banyak sekali gadis-gadis yang menatap Cakka dengan tatapan berbinar-binar, seperti mendapatkan pencerahan, mungkin pesona Cakka mampu menghipnotis mereka semua. Semua, kecuali Sivia, sahabatnya ini masih asyik memandang langit. Mungkin masih tidak suka pada laki-laki itu.

----------------------

                MOS sudah berlangsung selama 3 hari, dan untuk Sivia dan Alvin tidak ada hal yang berarti dalam MOS mereka. Sekarang dua orang sahabat itu sedang duduk santai di rumah pohon milik mereka. Rumah pohon itu memang sengaja dibuatkan oleh ayah Sivia, rumah pohon kecil tapi sangat berarti untuk cerita persahabatan mereka.

“ Sampai sekarang gue masih gak ngerti sama apa yang ada dalam pikirannya.” cerita Sivia, Alvin yang sebelumnya sedang bermain gitar pun meletakkan gitarnya dan mendengarkan cerita dari Sivia.

“ Siapa ?”

“ Kak Cakka..”

“ Gue kira, dua tahun udah cukup lama buat ngerubah sikap dingin dia. Cukup lama buat dia sadar kalau bukan papa yang bikin mamanya ngelupain papanya.”

“ Lo tau kan Vin, dulu waktu kita kelas satu dia baik banget sama kita, apalagi sama gue. Dia perhatian, sabar, lucu, tapi itu semua berubah sejak dia jadi kakak tiri gue.”

“ Sebenernya gue punya opini tentang Kak Cakka tapi kalau gue bilang ke lo, dijamin lo pasti ngakak.” Sivia menatap Alvin bingung, bagaimana tidak bingung, Alvin belum mencoba bilang apa-apa tapi dia langsung menyimpulkannya sendiri. Emang……

“ Emang selucu apa opini lo ?” tanya Sivia langsung, sekaligus melanjutkan apa yang tadi ia pikirkan.

“ Dia suka sama lo.”

“ Hahahahahaha…” terdengar suara tawa Sivia membahana. Alvin sendiri hanya cemberut, benar kan yang dia bilang. Sivia pasti tertawa bahkan ngakak.

“ Tuh, lo ngakak kan.” kata Alvin dengan sedikit kesal. Sivia perlahan menghentikan derai tawanya. Menatap Alvin dengan tatapan mata yang seolah mengatakan - Lo Gila Ya ? -

“ Malah ngatain gila.” Alvin semakin cemberut dan Sivia kembali tertawa melihat ekspresi wajah Alvin. Sebegitu mudahkah Alvin bisa membaca pikirannya, atau memang ia punya ekspresi yang begitu mudah dibaca.

“ Dia gak mungkin suka sama gue. Karena dia benci sama gue.” Mata Sivia menatap kosong ke arah laki-laki yang berjalan masuk ke rumahnya. Rumah mereka berdua.

“ Tadi gue udah bilang. Karena papa gue, udah gantiin posisi papa dia. Orang yang paling dia sayangi, setidaknya itu yang gue denger dari dia. Dari mulutnya.” Alvin masih memperhatikan Sivia, tatapan yang awalnya kosong itu berubah sedih.

“ Lo gak mikir kalau itu cuma alibi dia ?” Sivia menggeleng.

“ Gue capek ngadepin dia.”

“ Sini gue peluk..” Alvin merentangkan tangannya lebar-lebar, sementara Sivia menggeleng.

“ Lo bau asem, belum mandi, hahahaha…” belum sempat Alvin membalas gadis itu sudah turun dari rumah pohonnya.

“ Viaaaaaa…….”

---------------------

“ Gak boleh !!  Papa temenin Via aja, jangan ke Paris.” Sivia mulai merajuk, hari ini orang tuanya bilang ada urusan yang cukup serius dengan cabang perusahaan mereka di Paris dan mereka akan menetap disana untuk sementara.

“ Ayolah sayang, kamu kan gak sendirian. Ada kak Cakka. Mau yahh ?” bujuk Pak Duta, ayah Sivia dan ayah tiri Cakka, Cakka Arima.

“ Karena itu Via gak mau..” lirih Sivia, seseorang yang sedari tadi diam kini malah menatapnya tajam. Sivia hanya buang muka ketika mendapati dirinya ditatap begitu tajam.

“ Sayang……”

“ Pokoknya gak mau…” kali ini Sivia berlari menuju pintu rumahnya.

“ Besok papa berangkat.” teriak Pak Duta tidak kalah keras.

“ Bodooooo…..”

-----------------------

“ Kenapa lo kesini ?” tanya Alvin saat melihat Sivia berdiri dengan wajah kusut di depan rumahnya.

“ Jangan tanya-tanya, bikin tambah bete tau.” Sivia menunjuk ekspresi yang makin kesal, Alvin terkikik geli. Sahabatnya yang satu ini benar-benar jutek kalau sedang badmood.

“ Ya udah masuk gih..”

-------------------------

“ Ting..Tong…”  Suara bel rumah membahana, orang-orang yang sedari tadi berbincang  dan duduk di ruang tamu pun mengalihkan perahatian mereka.

“ Biar Cakka yang buka Pa.” Cakka beranjak menuju pintu, tanpa dilihat pun dia sudah tau siapa yang berada dibalik pintu sekarang. TEPAT !! Alvin dan Sivia.

“ Masuklah..” Cakka berjalan lebih dahulu, tapi sebelumnya ia sempat melirik Sivia yang berada di punggung Alvin. Wajahnya terlihat sangat tenang. Sama seperti dulu, sama seperti saat mereka bertemu dulu, tidak ada yang berubah. Hanya status mereka yang berubah ! Kakak dan adik.

“ Selamat malam Om Duta, Tante Renata.” Alvin tersenyum manis pada dua orang dewasa yang sedang berbincang di ruang tamu.

“ Terima kasih Alvin. Dan untuk dua bulan ke depan, titip Sivia ya.” Alvin mengangguk yakin, tanpa disuruh pun ia akan menjaga Sivia. Sahabatnya sekaligus gadis yang begitu ia cintai. Walaupun tidak pernah ia katakana tapi ia begitu menyukai gadis ini.

-----------------------

“ Mama, sarapannya apa ?” Sivia berjalan menuju dapur sambil berusaha memasang dasinya. Sudah jam 6.20 tapi Alvin belum terlihat menjemputnya, ia sendiri baru selesai mandi dan mengecek buku yang akan ia bawa.

“ Pagi tadi, mama udah berangkat sama papa.” Sivia tertegun mendengar suara itu, matanya kini beralih pada Cakka yang sedang memasak di dapur. Kalau boleh jujur, ia rindu, rindu dengan sikap baik Cakka. Rindu dengan perhatian Cakka. Rindu dengan segala yang berhubungan dengan Cakka.

“ Ohh..”

“ Kalau gitu gue berangkat.” Sivia sudah menenteng tasnya dan bersiap berjalan menuju pintu rumah.

“ Makan dulu.”

“ Gak laper.” balas Sivia dingin. Entahlah, setiap berbicara dengan Cakka sikapnya berubah jadi dingin. Mungkin membalas sikap Cakka yang juga dingin padanya.

“ Udah gue bilang makan ya makan.” tegas Cakka, dari sudut matanya Cakka melihat Sivia yang duduk sambil menggerutu di meja makan. Ia sendiri merasa bersalah, sudah lebih dari dua tahun ia begitu dingin pada gadis itu, gadis yang sekarang berstatus sebagai adiknya.

                Setelah merasa masakkannya sudah matang, Cakka pun menyajikan nasi gorengnya ke piring dan memberikannya pada Sivia. Sivia memakannya dengan sedikit tidak ikhlas. Semenjak Cakka dingin padanya, dia tidak pernah betah berlama-lama dengan kakak tirinya itu. Dia takut kalau sampai dia menangis di hadapan kakaknya ini. Gengsi dong !!

“ Viaaaaa……..” mata Sivia berbinar saat mendengar panggilan Alvin. Saat Sivia ingin beranjak keluar, Cakka kembali menahannya.

“ Lo habisin makanan lo dulu. Alvin biar gue suruh masuk.”

“ Lo terlalu banyak ikut campur urusan gue. Gue bisa urus, urusan gue sendiri. Jangan sok jadi papa mama gue. Lagian lo bukan siapa-siapa gue.” balas Sivia dingin.

“ Gue kakak lo.”

“ Kakak ?? Lo yakin lo kakak gue ?” Sivia memandang Cakka dengan tatapan meremehkan.

“ Duduk gue bilang, habisin sarapan! Gue gak mau repot kalau maag lo kumat.”

“ BRAAKKK…” Sivia berdiri dengan kasar, kursi yang ia jadikan tempat duduknya bahkan terjatuh ke belakang.

“ Terima kasih Kak Cakka Arima, tapi kalaupun gue sakit gue gak bakal minta bantuan lo. Dan mending lo jadi orang yang dingin lagi sama gue. Gue gak butuh semua perhatian lo. Jangan sok peduli.”

------------------------

                Alvin menatap Sivia yang sedari tadi diam saja. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan apa yang ia dengar di rumah Sivia tadi pagi tapi ia urungkan niat untuk bertanya begitu melihat wajah Sivia yang asem banget. Sivia sendiri masih duduk diam, terkadang gadis itu tersenyum saat dipanggil atau diajak kenalan oleh siswa-siswa yang selama ini membolos MOS.

“ Pulang yuk Vin.” ajak Sivia tiba-tiba, Alvin hanya melotot kaget. Detik berikutnya dia memandang Sivia dengan tatapan yang mengisyaratkan - Lo gila ya ? -

“ Iya gue gila.”  Sivia beranjak meninggalkan Alvin yang masih bengong di tempat. Ternyata bukan cuma dia yang bisa membaca pikiran. Hahaha…

“ Lo gak mau ikut ?” tawar Sivia, wajah gadis itu kembali menyembul dari balik pintu memandang Alvin yang masih duduk di bangkunya.

“ Gue gak mau dihukum. Lo lupa kalau sekolah ini punya aturan yang super ketat ?”

“ Nggak, gue gak lupa tuh !! Tapi gue males disini, gue duluan aja !” Sivia mulai berjalan menjauh dari kelasnya, kini langkahnya menuju ke belakang sekolah.


“ Lo mau kemana ?”  

“ Mati gue..” Sivia menatap takut siapa yang berada dibelakangnya, ia harap bukan guru. Bisa mati kalau ketauan guru.

“ Ehh, kakak..” Sivia menghela nafas lega. Memandang laki-laki di depannya dari atas sampai bawah. Tidak lama dia menepuk jidatnya, orang di depannya ini lebih berbahaya daripada guru.

“ Mau bolos ?” Sivia masih diam, bingung mencari alasan yang tepat.

“ Gak usah cari alasan. Pulang sekolah lo bersihin toilet cewek di lantai 2. Dan point 5 buat lo, ini cuma peringatan karena lo masih murid baru. Siapa nama lo ?”

“ Sivia Adinda Kak.” dengan gugup Sivia memberitaukan namanya.

“ Gue Mario Aditya, ketua Komite Kedisiplinan. Gue tunggu laporan lo nanti sepulang sekolah, di ruang komite kedisiplinan.” Sivia hanya mengangguk pasrah.

------------------------

“ TOK..TOK..”

“ Masuk..” Sivia melangkah ragu ke dalam ruang komite kedisiplinan. Kenapa ada ruangan yang begitu mengerikan di sekolah ini.

“ Kak Mario, toiletnya sudah saya bersihkan.” kata Sivia singkat, ia hanya berharap bisa cepat keluar dari ruangan yang membawa hawa-hawa buruk ini.

“ Ohh..” Rio memandang Sivia dari atas sampai bawah, terlihat baju gadis itu basah disana-sini. Bukan keringat tapi air. Rio tersenyum pelan, dia berjalan mendekati Sivia.

                Sivia sendiri melongo menatap Rio yang semakin mendekat ke arahnya. Dan kini Rio sudah ada dihadapannya, ia melihat laki-laki itu mengambil sesuatu dari kantung celananya. Fualaaa… Sekarang ada sebuah lollipop di hadapannya.

“ Buat saya ?” terlihat sekali binar di mata Sivia. Rio sendiri hanya tersenyum melihat ekspresi Sivia. Ekspresi gadis itu selalu berubah-ubah dan benar-benar menyenangkan untuk diperhatikan.

“ Hmm…” segera Sivia merebut lollipop dari tangan Rio. Membuka plastik pembungkusnya lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.

“ Terima kasih kak. Ternyata kakak baik. Saya kira kakak judes.” Sivia langsung berlari meninggalkan Rio. Rio sendiri hanya geleng-geleng, ada juga yang berani bilang kalau dia judes.

“ Gadis yang unik.”

--------------------

“ Alvin….” teriak Sivia pada Alvin yang masih mengikuti pengarahan di lapangan. Hari ini Alvin memang berencana masuk ke klub futsal SMA Permata.

“ Tunggu dulu Viaaa.”

“ Ehhh.., maaf ya.” Alvin memamerkan deretan giginya yang putih karena sadar menjadi bahan penglihatan sang pelatih dan calon teman-temannya di klub futsal.

“ Sialan nih Via.”



“ Lama yaa ?” Alvin menepuk pelan pundak Sivia yang sepertinya hampir tertidur di bawah pohon mangga sekolah.

“Hahh, Apa ?” Sivia langsung membuka matanya, menguceknya sebentar, dan bangun dari duduknya.

“ Gak papa kok. Pulang yuk.” ajak Alvin, Sivia hanya mengangguk.

“ Ehh Vi, lo bau deh.” goda Alvin.

“ Iisshh Alvin, gimana gak bau kalau seharian gue bersihin toilet sekolah. Dan sumpah, anak cewek kelas 2 itu jorok banget. Masak toilet kotor dimana-mana.”

“ Hahahahahaha, siapa suruh bolos. Dasar.” Alvin mencubit pelan hidung Sivia.

“ Alvin jelekkkkk…” protes Sivia sambil memegang hidungnya.

“ Biarin, sini deh !” Alvin melambai pelan ke arah Sivia. Sivia sendiri sedikit mendekat ke arah Alvin.

“ Cuuppp…”

“ Terima kasih telah menungguku.”

“ Alvinnnnnn… Gak pakai cium-cium dong.”


“ Cihh..” umpat seseorang yang sedari tadi memperhatikan mereka.


********

***Terima kasih udah mau baca***
***Buat yang udah baca tinggalkan jejak buat penulis yaa***



_mei_