Senin, 10 September 2012
Tentang Kisah [5]
Sivia terus memandangi Cakka yang dengan sabar menyuapinya. Sesekali kakak tirinya itu melontarkan petuah-petuah kepadanya. Dan semua petuah itu hanya masuk melalui telinga kiri kemudian keluar dari telinga kanan.
“ Kak Cakka.” panggil Sivia dengan suara yang sangat pelan. Cakka pun hanya melirik Sivia dari sudut matanya.
“ Maaf gara-gara ngerawat gue, lo jadi bolos sekolah.” Cakka diam sejenak, tidak lama tangannya bergerak menyodorkan nampan yang berisikan obat-obatan kepada Sivia.
“ Gue cuma butuh tidur kok.” Sivia pun berbaring tanpa meminum satu butir obat pun. Cakka pun menggeleng pelan, ia lupa kalau Sivia tidak suka dengan yang namanya obat.
“ Kan lo udah buat gue bolos. Nah, sebagai ganti ruginya lo harus minum semua obat ini sampai habis bukan sampai sembuh. Ingat !” Dan pada akhirnya, Sivia hanya bisa menatap pasrah semua obat itu sambil menggerutu.
“ Errr, dasar jelek !” ejek Sivia, tangannya bergerak untuk meminum obat-obat itu. Sementara Cakka tertawa kecil saat melihat ekspresi wajah Sivia saat meminum obatnya.
“ Hahh Paitt banget sihh..”
“ Namanya obat gak ada yang manis. Kalau mau cari yang manis itu lihat gue.”
“Hahaha, bisa narsis juga lo kak. Tapi kenapa selama ini lo dingin banget sama gue ?” Cakka menggeleng pelan, perlahan tangannya bergerak menepuk puncak kepala Sivia.
“ Tapi kemana Kak Cakka yang dulu. Kak Cakka yang lembut. Kak Cakkanya Sivia waktu SMP. Sivia kengen sama dia.” Sivia menatap dalam ke mata Cakka, mencari jawaban dari semua pertanyaannya selama ini.
“ Dia hilang !” Sivia tertegun sesaat melihat ekspresi wajah Cakka.
“ Hilang bersama cinta yang jadi terlarang.” Sivia tersentak mendengarnya. Tidak lama kemudian Sivia memegang wajah Cakka dan memberikan tatapan hangatnya.
“ Kak Cakka bener-bener suka sama Via yaa. Tapi benar kata Kak Cakka, cinta ini jadi terlarang.”
“ Andai Kak Cakka mengatakan ini sejak dulu. Semuanya pasti berbeda.” Sivia melepaskan tangannya dari wajah Cakka dan kembali berbaring.
“ Gue bener-bener terlambat yaa ?” Pertanyaan retoris pun tanpa sadar keluar dari mulut Cakka. Sivia pun diam tidak memberikan tanggapan apapun.
------------------------
“ Kamu yang bernama Ifyka Mentari ?” Ify yang sedari tadi duduk melamun pun membalik badannya tanpa menatap wajah laki-laki yang bertanya tadi.
“ Iya ?”
“ Maaf artikel yang lo minta tidak bisa diterbitkan.” kata laki-laki itu.
“ Gimana sih, emang kerjaan lo ap…” Omongan Ify terhenti seketika ketika dia melihat siapa lawan bicaranya.
“ Artikel ini gue sita ! Artikel yang menjelekkan murid lain seperti ini tidak pantas menghiasi mading sekolah.”
“ Alaahh, lo terlalu banyak alasan. Bilang aja lo mau ngelindungin Sivia. Cewek yang lo cintai.”
“ Gue emang suka sama Sivia. Gue juga gak tau apa yang bikin lo benci sama Sivia. Tapi satu hal yang gue yakin, dia itu suka sama lo. Dia itu pengen jadi temen lo.”
“ Gak usah ngarang deh.” Entah kenapa saat mendengar kalau Sivia ingin berteman dengan dirinya wajah Ify pun memerah.
“ Gue gak ngarang kok. Dia pernah cerita sama gue kalau dia pengen banget temenan sama lo. Apalagi dia suka ngelihatin lo kalau lo lagi main basket.” Ify diam sejenak. Detik berikutnya dia menggeleng kuat.
“ Terus, lo mau bilang soal masalah ini ke Sivia. Silahkan !” tantang Ify. Rio hanya tersenyum lalu menggeleng.
“ Gue gak akan lakuin hal yang bakal ngelukain dia.” Rio berjalan menjauhi Ify yang masih mematung di tempatnya.
“ Temenan sama Sivia..” batin Ify.
“ Alvin..” Ify menggeleng kuat saat bayangan Alvin berkelebat dipikirannya.
“ Gak mungkin.”
-------------------
Alvin berjalan masuk ke dalam rumah Sivia dengan satu kantung plastik penuh coklat. Rencananya dia akan memberikan semua coklat itu kalau Sivia sudah sembuh. Langkahnya terhenti sejenak saat dia melihat Cakka yang sedang melamun di depan televisi.
“ Sivia gak apa-apa kan kak ?” tanya Alvin ragu. Baru kali ini ia melihat Cakka yang begitu murung.
“ Yang kenapa-kenapa bukan Sivia tapi hati gue.”
“ Maksud lo ?”
“ Gue gak tau kalau dulu Sivia punya perasaan yang sama kayak gue.” Alvin terpaku mendengar kata-kata Cakka.
“ Lo tadi ?”
“ Iya, secara gak langsung gue nyatain perasaan ke dia. Dan…” Alvin langsung berlari ke kamar Sivia tanpa menunggu lanjutan cerita dari Cakka.
Dengan perasaan yang bercampur aduk Alvin pun masuk ke kamar Sivia. Dilihatnya gadis itu sedang tiduran sambil memandang kosong langit-langit kamarnya. Wajah Sivia bersemu merah tapi terlihat ada guratan kesedihan disana.
“ Gue udah denger semua dari Kak Cakka.” Sivia segera menatap Alvin saat mendengar suara berat Alvin.
“ Alvin…” Sivia segera bangun dari tempat tidurnya dan memeluk erat tubuh Alvin.
“ Gue bingung Vin. Hati gue rasanya kayak diobrak-abrik.” Sivia mengeratkan pelukannya pada Alvin, Alvin masih diam. Tangan yang awalnya ingin membalas pelukan Sivia pun ia kepalkan kembali.
“ Jangan cerita lagi soal hati lo sama gue. Karena gue juga cinta sama lo. Karena gue pengen milikin hati lo seutuhnya.” Sivia langsung melepaskan pelukannya, matanya pun tidak lepas menatap Alvin.
“ Udah dari dulu gue suka sama lo. Tapi lo gak pernah sadar kan ?”
“ Maaf Vin, selama ini gue udah nyakitin lo. Gue gak pernah tau kalau lo suka sama gue. Maaf !” Sivia berlari keluar dari kamarnya. Alvin sendiri masih terpaku, ia tidak menyangka kalau ungkapan perasaannya akan menyulitkan Sivia.
“ Siviaaa lo mau kemana ?” teriakan Cakka itu bagai penyadar bagi Alvin. Detik berikutnya ia sudah berlari bersama dengan Cakka untuk mengejar Sivia.
-----------------------
Sivia berlari tanpa arah. Cakka dan Alvin pun sudah tidak terlihat lagi dibelakangnya. Tapi begitu melihat sekelilingnya ia sadar ia berada di tempat yang begitu dia sukai. Lapangan Basket.
“ Udah lama banget gue gak main basket.” Sivia menyentuh perlahan bola basket yang ada di bawah ring.
“ Antara kangen dan gak mau.”
“ Sivia ?” Sivia yang merasa dipanggil pun menoleh, di depannya ada Ify yang mengenakan seragam basket SMAnya.
“ Main dong Fy, gue suka banget lihat lo main basket. Keren !” Sivia menyodorkan bola basket yang ia pegang dengan agak bingung Ify pun menerima bola basket itu.
“ Gue emang mau latihan sih. Lo mau lihat ?” Tanpa menunggu jawaban Sivia, Ify pun mulai mendrible bolanya.
Sivia tersenyum, ia benar-benar kagum pada Ify. Baket adalah salah satu mimpi yang ia pendam bersama kematian ibunya. Walau begitu Sivia tidak pernah membenci basket, dia suka dan benar-benar suka.
“ Lo hebat banget Fy. Gue bener-bener suka sama lo deh.” Sivia tertawa lebar sementara Ify membeku seperti patung.
“ Suka ??” tanya Ify, Sivia pun mengangguk yakin.
“ Lo mau kan jadi temen gue ?” Ify menghela nafas sebentar lalu menggeleng kuat.
“ Lho kenapa ? Lo benci sama gue ?”
“ Iya, lo itu saingan gue buat dapetin Alvin. Jadi kita itu saingan bukan teman.” Sivia tersenyum cerah mendengar perkataan Ify.
“ Ternyata lo suka sama Alvin yaa. Wow, gue baru tau.” Wajah Ify pun langsung bersemu merah saat Sivia mengatakan itu.
“ Bodoh banget sih gue.” batin Ify.
“ Kalau begitu lo harus semangat supaya bisa dapetin Alvin.”
“ Hehh..” kaget Ify saat mendengar kata-kata Sivia.
“ Sivia, bukannya lo juga suka sama Alvin ?” tanya Ify pada Sivia. Sivia menunduk bingung mendengar pertanyaan Ify.
“ Gue gak tau gimana hati gue ? Gue itu ngerasa nyaman banget kalau deket sama Alvin.” Sivia berhenti berbicara sebentar lalu menghela nafas panjang.
“ Tapi gue gak tau rasa nyaman ini karena gue mandang dia sebagai cowok atau cuma sekedar sahabat.”
“ Tapi fy, kalau nanti gue udah ngerti sama hati gue sendiri dan ternyata gue suka sama Alvin. Gue bakal bener-bener berusaha buat ngedapatin dia.”
“ Gue cuma butuh waktu.”
“ Dan kalau saat itu tiba gue gak ingin cinta gue lari untuk kedua kalinya.”
“ Kalau begitu mulai sekarang kita saingan sekaligus teman yaa.” Sivia tersenyum ringan sambil memegang tangan Ify.
“ Temannn..” teriak Sivia sambil berlari meninggalkan Ify yang masih bengong di tempatnya.
----------------------
Sekarang Sivia berjalan pulang dengan hati yang lebih tenang. Rasanya benar-benar lega. Tapi tiba-tiba langkahnya melambat saat ia merasakan perutnya mulai mual dan sakit. Sivia berhenti berjalan dan duduk di pinggir jalan.
“ Alvin…” lirih Sivia saat melihat Alvin yang sudah berjongkok di depannya.
“ Maaf kalau kata-kata gue tadi buat bingung lo.” Alvin berkata pelan sambil memeluk lembut tubuh Sivia.
“ Gue yang harus minta maaf karena gak pernah sadar perasaan lo.” Sivia tersenyum sambil membalas pelukan Alvin.
“ Oh iya, mulai hari ini gue bakal cari tau perasaan gue sama lo. Gue sayang atau gak sama lo.” Wajah Alvin langsung bersemu merah saat mendengar Sivia berkata seperti itu.
“ Tapi gue gak sendiri lho. Disana ada cewek yang juga suka sama lo.” Alvin tertegun sejenak.
“ Jadi kami berdua jadi saingan lho. Dia untuk dapatin cinta lo dan gue untuk mastiin perasaan gue ke lo. Jadi lo mesti siap tempur yaa…” Sekarang wajah Alvin benar-benar merah sampai telinga. Ia benar-benar malu.
“ Oke, oke. Soal itu kita bahas nanti yang penting cepat pulang, istirahat, dan minum obat.” kata Alvin.
“ Huaaaaa…” teriak Sivia keras.
“ Lo gak manis banget sih Vin. Dimana-mana kalau gendong cewek sakit itu ala putri atau kalau gak di punggung deh. Ehh, lo malah manggul gue di pundak. Ihhh..”
“ Emang gue bakul sayur.”
“ Gak mau, kalau gue gendong lo kayak yang lo bilang itu, lo pasti ketawa.”
“ Lho kenapa ?” Sivia bertanya sambil memandangi punggung Alvin, karena yang Sivia bisa lihat sekarang hanya punggung Alvin.
“ Karena wajah gue merah banget.”
“ Ciieee, malu yaa..” goda Sivia.
“ Jelas gue malu. Gimana gak malu kalau orang yang gue suka ngomong kayak gitu. Rasanya seneng sekaligus malu tau.” Sivia membekap mulutnya sendiri, kali ini giliran wajahnya yang memerah.
“ Udah jangan dilanjutin.” kata Sivia.
“ Gue tadi pasti malu-maluin banget deh.” batin Sivia.
“ Tapi Vi, kisah cinta ini pasti akan berlangsung lama…” kata Alvin tiba-tiba.
“ Gue tau kok. Jadi mohon bantuannya !” Lagi-lagi wajah Alvin bersemu merah karena mendengar perkataan Sivia.
***********
***Bagi yang baca harap tinggalkan jejak***
***Makasih udah mau baca***
_mei_
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar