Jumat, 18 Mei 2012

Tentang Kisah [2]


Tentang Kisah [2]

                Satu minggu sudah Pak Duta dan Ibu Renata meninggalkan kedua anaknya sendirian di rumah. Dan satu minggu itu terasa sangat lama untuk Cakka dan Sivia. Setiap hari yang mereka lakukan hanya saling memandang, sekolah, pulang, bahkan untuk makan bersama pun mereka enggan.

“ Viaaa..” Sivia yang sedari tadi mengamati lapangan sekolah pun menatap Alvin yang berteriak memanggilnya sambil berlari ke tempat dia duduk.

“ Aduh Vin, ini masih pagi dan gue males dengerin gosip murahan  dari lo. Lagian lo itu kan cowok, cakep lagi, jadi jangan suka ngegosip deh. Gak baik !” Alvin hanya cemberut mendengar perkataan Sivia.

“ Via, sebenarnya gue itu gak suka ngegosip tapi karena lo itu kurang update jadilah gue yang selalu ngasih berita terhangat ke lo.” bela Alvin, Sivia hanya mengangguk malas menanggapi pembelaan Alvin. Bakal lama kalau perdebatan ini diterusin.

“ Ehh Vi, gue bawa berita soal kak Cakka sama pementasan drama Putri Aurora.”

“ Tuhh, lo ngegosip kan !” tuding Sivia tanpa ampun, Alvin hanya cengengesan mendengarnya. Harus diakui hal seperti ini emang lebih tepat disebut gosip daripada berita.

“ Gue denger kak Cakka bakal jadi Pangeran buat acara drama sekolah kita dan hari ini ada audisi jadi Putri Aurora.”

“ Terus ? Lo mau ikut audisi jadi Putri Aurora, idihh, gak cocok banget.” Sivia bergidik ngeri sambil membayangkan Alvin memakai gaun-gaun seperti di kartun Barbie.

“ Tapi kayaknya cantik juga sih lo..” gumam Sivia pelan.

“ PLETAK…” tanpa ampun Alvin memukul kepala Sivia. Sivia sendiri hanya mengusap kepalanya sambil memamerkan deretan giginya ke arah Alvin.

“ Enak aja lo ! Lo pikir gue cowok apaan ?”

“ Cowok jadi-jadian kali Vin. Lagian gue gak pernah lihat lo jalan sama cewek selain gue.” Sivia hanya nyengir lebar saat Alvin menatapnya tajam.

“ Mau bukti ?”

Alvin menyeringai licik, detik berikutnya wajahnya sudah benar-benar dekat dengan wajah Sivia, mungkin hanya 5 cm. Dan saat itu semburat merah pun segera menjalari wajah Sivia, bahkan dari gerak tubuh Sivia dengan mudah dapat diketahui kalau gadis itu sedang salah tingkah.

“ Alviiiin…”

Sivia berteriak cukup keras karena Alvin tiba-tiba menutup kedua matanya. Alvin sendiri segera melemparkan pandangan ke langit tanpa melepas tangannya yang masih menutup mata Sivia. Terlihat jelas semburat merah yang mulai menjalar di  wajah Alvin. Dia juga salting, dia malu dengan apa yang ia lakukan tadi.

Dia malu ketika ingat betapa dekat wajahnya dengan wajah Sivia tadi. Dia malu karena melihat gerak tubuh Sivia yang salah tingkah. Dan alasan terkuat karena Alvin tidak ingin Sivia melihat wajahnya yang memerah, maka dari itu Alvin menutup kedua mata Sivia.

----------------------

“ Hei, kamu cepat bangun !” Sivia mengucek matanya pelan, siapa sih orang yang berani ngebangunin dia. Gak tau lagi enak-enaknya tidur apa ? Dan saat Sivia ingin marah-marah, bibirnya jadi terkunci rapat saat melihat siapa yang ada dihadapannya.

“ Eh, Ibu Reni.” Sivia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sambil memamerkan senyum tidak ikhlas pada guru yang termasuk dalam jajaran guru killer  SMA Permata.

“ Kamu ngapain disini ?” tanya Ibu Reni dengan suara yang cukup tinggi, Sivia sendiri masih diam sambil mencari sebuah alasan yang tepat. Mana mungkin dia bilang kalau dia bolos pelajaran matematika gara-gara lupa ngerjain PR. Bisa dimakan sama Ibu Reni dia !

“ Emmm, saya..” Sivia memutar bola matanya.

“ Oh, iya ! Saya mau ikut audisi Putri Aurora.”

“ Nah, karena terlalu lama nunggu jadi ketiduran deh Bu.” Sivia menghela nafas lega ketika ia selesai berbicara. Dan tidak sengaja dia melihat wajah Bu Reni yang berbinar.

“ Alamat mati !!” Sivia merutuki dirinya sendiri, merutuki alasan yang keluar dari mulutnya.

“ Sebenarnya audisinya sudah selesai, tapi karena kamu memaksa, ayo audisi lagi.” Sivia yang mendengarnya hanya melotot kaget, memaksa darimananya. Bahkan dia sama sekali tidak mau ikut audisi ini.

“ Tapi kalau sampai akting kamu jelek, kamu akan dapat hukuman.” Sivia menelan ludahnya sendiri, ini baru yang namanya sudah jatuh tertimpa tangga pula.

                Sivia mengikuti Ibu Reni yang berjalan menuju ke panggung di tengah aula. Disana Sivia melihat Cakka, Rio, dan beberapa anggota drama yang bersiap pergi. Sivia pun menghela nafas panjang.

“ Semoga gue gak kepilih !”

“ Anak-anak jangan pergi dulu !” Suara Ibu Reni dalam sekejap menghentikan langkah orang-orang yang akan pergi dari sana. Sebagian dari mereka pun mulai berbalik dan menatap malas ke arah Bu Reni.

“ Masih ada satu kontestan lagi.” Terlihat raut wajah Ibu Reni yang berbinar sambil mengatakan itu. Sivia dapat menyimpulkan kalau sejak tadi tidak ada satu pun siswi yang berhasil menarik hati guru killer itu. Dan Sivia juga dapat melihat raut terkejut dari Cakka, raut tidak senang dari anggota klub drama lainnya, dan senyuman manis dari Rio.

“ Sekarang, silahkan. Jangan lupa ada hukuman kalau akting kamu jelek.” Sivia menatap ngeri ke arah Ibu Reni, kenapa ada guru sejahat itu disini.

“ Semoga gue gak kepilih.”

                Sivia menarik nafas panjang dan mencoba tersenyum. Tangannya meraih malas naskah drama yang disodorkan oleh Rio. Sivia membaca naskah sebentar dan mulai berakting sebisanya. Sivia sama sekali tidak melihat ekspresi-ekspresi kagum yang terpancar jelas dari wajah para juri.

“ Oke ! Sudah cukup ! Pengumumannya besok akan saya tempel di mading.” Sivia menghela nafas lega saat suara Bu Reni menghentikannya berdialog sendirian.

“ Terima kasih Bu. Saya permisi.” Tanpa berbasa-basi lagi Sivia langsung keluar dari aula.

“ Dia gadis yang menarik.” Rio tersenyum simpul sambil menatap Sivia yang berlari keluar aula. Cakka sendiri mengangkat alis ketika mendengarkan kata-kata Rio.

“ Dia ?” Cakka bertanya pada Rio sambil menunjuk ke arah Sivia yang masih berlari.

“ Iya, gadis yang cantik, lucu, dan menarik. Gue pikir, gue harus dapetin dia.” Cakka memutar bola matanya malas. Ada rasa kesal yang memenuhi hatinya.

“ Sebelum itu, lo harus bisa kalahin gue dulu.” Cakka berjalan meninggalkan Rio yang masih terpaku di tempatnya.

---------------------------

“ Jam matematika tadi kemana ?” Alvin dan Sivia kini sedang asyik berbincang sambil sesekali memainkan kaki mereka yang tercelup sebagian di kolam renang. Mereka sangat suka dengan keadaan yang seperti ini.

“ Gue tadi ke tempat yang paling buruk sedunia.” Alvin mengernyit, tanda kalau ia tidak mengerti apa yang dimaksud Sivia.

“ Gue tadi di aula, ikut audisi Putri Aurora.” Sivia melihat Alvin yang menganga lebar di depannya. Melihat ekspresi Alvin itu Sivia terkikik pelan, Sivia pun mengusap pelan wajah Alvin.

“ Isss Siviaaa….” protes Alvin sambil menjauhkan tangan Sivia dari wajahnya. Sivia sendiri kembali tertawa melihat ekspresi Alvin.

“ Jangan-jangan lo lupa kalau Kak Cakka yang jadi pangerannya ? ” tanya Alvin, Sivia tersenyum malas mendengar itu. Bagaimana mungkin ia lupa. Lagipula saat di aula ia melihat Cakka memandangnya tajam, entah apa artinya itu.

“ Gak ! Tapi gue yakin gue gak bakal kepilih jadi Putri Aurora. Gue kan gak hebat dalam bidang itu.”  Alvin tersenyum mendengar kata-kata Sivia.

“ Jangan terlalu yakin, lo itu gak sadar seberapa besar kemampuan lo.” Sivia memandang Alvin bingung.

“ Maksud lo ?” Alvin hanya mengangkat bahunya dan mengambil gitar yang tadi ia siapkan. Sivia hanya tersenyum, ia paling suka mendengarkan alunan gitar dari permainan Alvin.

------------------------

                Di tengah keramaian kelas yang bingung dengan aksi pinjam-meminjam PR yang belum dikerjakan, laki-laki ini masih bisa nyaman membaca buku biologinya. Kalau diumpamakan seperti dunia milik dia sendiri.

“ Vin, gue pinjem PR lo dong.” teriak salah seorang anak dari bangku depan kelas.

“ Buku gue dipinjem Daud, ambil sendiri Yon.”

                Alvin kembali meneruskan membaca buku biologi miliknya. Alvin memang sangat suka pelajaran biologi karena menjadi dokter adalah cita-citanya. Sejenak ia meletakkan buku biologinya, entah kenapa pikirannya melayang pada seorang gadis yang sejak 3 tahun lalu telah menjajah hatinya.

“ Sampai kapan gue bisa simpan rasa ini terus. Sampai kapan gue bisa bilang kalau gue ini sahabat lo.”

“ Alviiiiinn….”

Alvin yang sedang asyik melamun pun terlonjak kaget mendengar teriakan Sivia, matanya kini menatap gadis yang sedang berdiri di ambang pintu kelasnya.

“ Viaaaa berisik banget sih lo.”

Belum sempat Alvin memarahi Sivia, teman-teman sekelasnya sudah memarahi Sivia terlebih dalu. Sivia sendiri langsung nyengir sambil meminta maaf pada teman-temannya. Setelah selesai meminta maaf, Sivia berjalan ke tempat duduk Alvin dengan tampang yang kusut.

“ Kenapa lo ? Muka kusut amat. Butuh setrika ?” goda Alvin, bukannya tersenyum Sivia malah semakin memanyunkan bibirnya.

“ Gue kepilih jadi Putri Aurora.” Alvin yang mendengarnya langsung terpaku. Moodnya langsung anjlok begitu saja. Sampai sekarang ia masih begitu yakin kalau Cakka menyukai Sivia. Tapi ? Sekarang mereka berperan jadi putri dan pangeran. Berperan bersama dan saling mencintai ? Oh, God !

“ Kenapa lo diam aja ?” Sivia menggerakkan bolak-balik tangannya di depan wajah Alvin.

“ Gue kesel.”

“ Hahh ! Kesel kenapa ?” Sivia memandang Alvin bingung sedangkan Alvin merutuki kata-katanya barusan.

“ Kesel ! Kenapa bukan gue yang jadi Aurora.” kata Alvin seenaknya, dia tidak mau Sivia tau kalau dirinya ada hati dengan gadis itu. Sivia yang mendengar itu langsung memandang Alvin dengan tatapan tajam. Sangat tajam dan benar-benar serius.

“ Vin, lo beneran suka sama kak Cakka ?” Kali ini Alvin tidak bisa membaca ekspresi Sivia. Wajah gadis itu begitu serius. Detik berikutnya tangan Sivia sudah menempel di keningnya.

“ Vin lo masih normal kan ?” Sivia bertanya tegas, Alvin sendiri langsung memegang tangan Sivia. Memandang tajam ke arah gadis itu.

“ Gue masih suka sama cewek. Gue tadi bercanda. Inget ! Gue suka cewek.” Detik itu Sivia merasakan kelegaan luar biasa menjalar di hatinya. Dia sendiri tidak tau apa yang terjadi padanya.

“ Syukurlah..” Sivia melepaskan tangan Alvin yang masih memegang tangannya. Kepalanya sendiri ia tundukkan, menutupi wajahnya yang memerah tanpa ia tau sebabnya.

“ Hidup gue jelek banget. Masak gue harus main drama sama kakak gue.” ucap Sivia lirih. Alvin yang mendengar itu hanya tersenyum miris.

“ Bukan cuma hidup lo yang jelek. Gue lebih sengsara ngelihat lo main drama sama dia. Sama orang yang suka sama lo.” Batin Alvin.

----------------------

                Semua anggota drama Putri Aurora sedang berkumpul di aula, sudah lebih dari satu jam mereka mendengarkan cuap-cuap dari Ibu Reni. Entah kenapa guru itu tidak bosan mengulang hal yang sama. Sivia sendiri hanya memainkan handphone miliknya, malas mendengarkan ocehan guru satu itu.

“ Dengerin Ibu Reni..” Sivia menoleh ke arah suara yang menasehatinya, dilihatnya Rio yang memandangnya sambil menunjuk Ibu Reni yang belum berhenti bicara.

“ Ngapain ngedengerin kalau yang ia bicarakan dari tadi sama aja. Intinya cuma satu tapi ngomongnya putar-putar. Bosan kak.” Sivia membalas kata-kata Rio sambil tetap memainkan handphonenya.

“ Kalau gitu bicara sama gue aja.” Dengan cepat Rio mengambil handphone Sivia dan memasukkannya ke saku seragam OSISnya.

“ Kak Rioooo balikiiiin…”

Sivia segera meminta maaf saat menyadari semua orang disana menatapnya tajam. Apalagi Ibu Reni memandangnya dengan tatapan yang sangat tajam. Tanpa mempedulikan ulah Sivia, Ibu Reni kembali menerangkan hal yang sama.

“ Huhhh…”

“ Dasar kak Rio jelek !!” Sivia menjulurkan lidahnya ke arah Rio, Rio sendiri tertawa tanpa suara melihat ekspresi Sivia. Karena kesal Sivia pun mendekat ke arah Rio dan membisikkan sesuatu.

“ Ternyata Ketua Komite Kedisiplinan jahil juga yaa..”  Kali ini giliran Rio yang terdiam sementara Sivia terkekeh geli.

“ Dasar bocah ! Berisik !” Sivia dan Rio segera menatap orang yang memarahi mereka. Dan mereka mendapati Cakka sedang menatap mereka dengan tatapan tajam.

“ Kakak Cakka Arima, ini gak ada urusannya sama lo !” Sivia segera pindah duduk ke kursi depan sebelum ia bertengkar dengan Cakka. Gak lucu juga kalau sampai pemain putri sama pangeran berantem, bahkan sebelum latihan drama. Bisa-bisa dia digorok sama Ibu Reni.

“ Idihh seremm…” Sivia bergidik ngeri saat membayangkan raut wajah Bu Reni yang akan marah kalau dia dan Cakka berantem.

*********

***Makasih udah mau baca***
***Buat yang udah baca harap tinggalkan jejak buat penulis***



_mei_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar